BACA JUGA:Sinergi Fiskal untuk Optimalisasi Pembangunan Nasional
"Pelakunya pun menyasar usia di bawah 10 tahun," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di DPR RI Jakarta 6 November.
Jadi, dunia digital yang anonim memang mengerikan. Selain scams, hack juga menguras uang dalam pencurian digital dengan besaran nilai yang juga besar.
Dampak yang juga sangat negatif adalah hoaks dan framing yang bisa membuat fakta yang salah menjadi benar karena ada proses pengulangan, sehingga hal yang salah bisa dianggap benar karena diulang-ulang. Atau, rekayasa video/foto/grafis yang bisa rusak citra tokoh.
Tidak kalah mengerikan juga terjadi dalam radikal digital. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun menyebut internet dan media sosial (platform digital) merupakan saluran penyebaran ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme dengan posisi tertinggi kedua, setelah komunitas (peringkat pertama).
Literasi Digital
Kepala BNPT Komjen Pol. Eddy Hartono mengatakan temuan "terorisme digital" tersebut merupakan hasil dari riset BNPY yang dikemas dalam dokumen I-KHub BNPT Counter Terrorism (CT) and Violent Extremism (VE) Outlook Tahun 2024 dengan judul "Penyalahgunaan Ruang Siber untuk Aktivitas Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme".
BACA JUGA:Polri dalam Arsitektur Negara Demokrasi Modern
Sejak tahun 2013 hingga 2022, BNPT mencatat dari 721 berkas putusan yang dianalisis terdapat 360 kasus pelaku terorisme yang terpapar melalui platform digital.
Oleh karena itu berbagai upaya perlu dilaksanakan secara lebih terkoordinir guna optimalisasi sumber daya dan mencapai hasil yang lebih maksimal, yakni pengendalian konten, pengawasan atau patroli siber, pemblokiran, dan kontra propaganda.
Dalam publikasi temuan 3 November 2024 itu, BNPT menyebut serangan tunggal pada tahun 2017 di Banyumas dan pada 2022 di Jakarta, yang menargetkan polisi itu dipengaruhi oleh ideologi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang disebarkan melalui internet. Selain itu, terpantau pula adanya perkembangan aktivitas pendanaan terorisme di ruang siber.
Yang menarik, Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono mengurai beberapa model kerentanan terhadap radikalisasi dan keterpaparan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di ruang siber itu merujuk dua faktor yakni pribadi a-sosial dan minimnya literasi digital, sehingga mudah terpapar akibat tidak berdaya secara digital.
Agaknya, cara cerdas melawan media digital (medsos) itu bukan dengan melarang sisi negatif dari dunia digital, sebab dunia memang memiliki dua sisi yakni positif dan negatif. Karena itu, dihadapi saja dengan melakukan kontra sisi negatif digital melalui literasi digital yang selama ini masih belum dilirik seperti halnya digitalisasi.
BACA JUGA:Awas Polarisasi di Sekitar Anda! (Catatan Perjalanan Program APS 2024)
Ya, dunia digital itu harus dilihat dari "dua sisi" yakni sisi digitalisasi dan sisi literasi digital. Bila hanya sisi digitalisasi yang lebih menguat, maka dunia digital hanya mengalami kemajuan teknologi/digital.
Sedangkan pada manusia-nya justru tetap purbakala, karena tetap jahat dalam arti rentan terpapar atau justru menjadi sumber hoaks, scams, framing, hack, pishing, bully, radikal digital, rekayasa video/grafis/editing, dan sebagainya.
Dunia digital memang banyak jebakan, di antaranya hoaks, scams/crime, framing, hack, pishing, bully, radikal digital, dan sebagainya. Oleh karena itu, literasi digital menjadi penting, agar digitalisasi bukan hanya kemajuan teknologi, melainkan juga kemajuan manusia era digital.