Jalani Sidang Kasus Korupsi Timah, Hendry Lie Didakwa Terima Rp1,06 Triliun
Pengusaha Hendry Lie menjalani sidang dakwaan kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis 30 Januari 2025--(ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Pengusaha sekaligus bos Sriwijaya Air Hendry Lie menjalani sidang perdana kasus korupsi komoditas timah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis, 30 Januari 2025.
Hendry Lie didakwa menerima uang sebesar Rp1,06 triliun melalui PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dalam skandal pengelolaan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada periode 2015 hingga 2022.
JPU Kejagung Feraldy Abraham Harahap, mengungkapkan bahwa uang tersebut diperoleh dari transaksi pembelian timah ilegal, termasuk melalui aktivitas borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), sewa smelter, dan harga pokok produksi (HPP) PT Timah.
"Terdakwa terlibat atau turut serta dalam perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," kata JPU Kejagung saat membacakan surat dakwaan Hendry Lie.
BACA JUGA:Simpang Siur Pembukaan Smelter Timah di Batam, Beliadi Jelaskan Langkah Hashim Djojohadikusumo
Akibat perbuatannya bersama dengan terdakwa dan terpidana lain, Hendry Lie didakwa merugikan negara hingga Rp300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung (Babel).
Hendry dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Sebagai pemegang saham mayoritas, Hendry memberikan instruksi kepada General Manager Operasional PT TIN, Rosalina, serta Marketing PT TIN 2008-2018 Fandy Lingga, untuk menyusun dan menandatangani surat penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah.
Kerja sama ini melibatkan beberapa smelter swasta, seperti PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa. Namun, smelter-smelter tersebut diketahui tidak memiliki tenaga ahli yang kompeten atau Competent Person (CP). Selain itu, format surat penawaran kerja sama sudah disiapkan sebelumnya oleh PT Timah.
BACA JUGA:Aktivitas Penambangan Ilegal Marak di WIUPK PT Timah, Penertiban Belum Berhasil
Setelah itu, Hendry bersama Fandy dan Rosalina, melalui PT TIN serta perusahaan afiliasi seperti CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa, terlibat dalam pembelian serta pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Menurut JPU, Hendry diduga mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang, yaitu CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa. Perusahaan-perusahaan ini berperan sebagai mitra jasa borongan yang menerima surat perintah kerja (SPK) dari PT Timah untuk mengangkut, membeli, dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
"Setelah itu, bijih timah tersebut dijual kembali kepada PT Timah sebagai bagian dari kerja sama sewa peralatan pengolahan antara PT Timah dan PT Tinindo Inter Nusa," terang JPU Kejagung.
Hendry bersama Fandy dan Rosalina, melalui perusahaan afiliasi PT TIN, menerima pembayaran dari PT Timah atas bijih timah yang dibeli. Padahal, mereka mengetahui bahwa bijih timah tersebut berasal dari aktivitas pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.