Bahaya Fatherless Terhadap Tumbuh Kembang Remaja
Jihan Tsuraya, S.Psi, Guru TK Angkasa Lanud H.AS Hananjoeddin Tanjungpandan, Belitung-Istimewa-
BELITONGEKSPRES.COM - Fatherless menggambarkan kondisi ketika anak tidak memiliki kedekatan hubungan dengan ayah, baik secara fisik maupun psikologis. Menurut Smith (2011), seseorang dikategorikan sebagai fatherless apabila tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayah akibat permasalahan pernikahan orang tua atau masalah ekonomi.
Fenomena fatherless muncul akibat hilangnya peran ayah dalam kehidupan anak, terutama saat memasuki masa remaja. Meskipun istilah ini masih awam bagi masyarakat Indonesia, faktanya Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia.
Fatherless tidak hanya dialami oleh anak yatim, tetapi juga oleh anak yang kehilangan figur ayah karena sang ayah terlalu sibuk bekerja sehingga tidak berperan dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak.
Perceraian juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi ini, terutama ketika hak asuh anak menjadi permasalahan yang membuat anak berada dalam situasi tidak aman dan nyaman. Selain itu, ayah yang melakukan kekerasan terhadap anak juga dapat menyebabkan anak kehilangan figur ayah dalam kehidupannya.
BACA JUGA:100 Hari Kerja Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana Alam
Maraknya fatherless di Indonesia juga dipengaruhi oleh stigma masyarakat yang menganggap bahwa mengasuh anak adalah tugas perempuan, sementara laki-laki hanya bertanggung jawab mencari nafkah. Padahal, mengasuh dan mendidik anak adalah tanggung jawab bersama sebagai orang tua, sehingga keterlibatan ayah dalam pengasuhan sangat diperlukan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 menemukan bahwa keterlibatan langsung ayah dalam pengasuhan anak masih tergolong rendah, yaitu hanya 26,2%. Selain itu, kualitas komunikasi antara ayah dan anak juga terbatas, dengan rata-rata waktu komunikasi hanya 1 jam per hari (47,1%).
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Populix pada tahun 2023 dengan 2.565 responden menunjukkan bahwa 31,1% responden mengalami kondisi fatherless. Data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) pada 2021 juga mencatat bahwa 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah secara aktif, yang berarti sekitar 2.999.577 anak tidak lagi tinggal bersama ayahnya.
Isu fatherless mungkin tidak selalu terlihat secara langsung, tetapi dampaknya sangat nyata, terutama bagi perkembangan psikologis dan emosional anak remaja. Ketidakhadiran ayah dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif anak, termasuk dalam membentuk perspektif dan keterampilan sosialnya.
BACA JUGA:Tukang Gendang, Penjaga Tradisi 'Gawai Penganten' Belitong
Remaja yang mengalami fatherless sering mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar karena kurangnya rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri. Selain itu, mereka cenderung mencari sosok ayah pengganti di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya, sehingga lebih rentan merasa kesepian atau terisolasi.
Fatherless juga berdampak negatif pada pengendalian diri (self-control). Kehadiran ayah berperan penting dalam mengajarkan anak cara mengendalikan emosi secara wajar. Tanpa figur ayah, anak cenderung memiliki harga diri rendah, merasa malu, atau bahkan marah karena merasa berbeda dari anak-anak lain yang memiliki hubungan baik dengan ayahnya (Lerner, 2011).
Dampak lainnya adalah rendahnya kemampuan penyesuaian sosial. Remaja yang mengalami fatherless cenderung lebih sulit menjalin hubungan dengan anggota keluarga maupun teman sebaya, yang bisa berujung pada perilaku menyimpang akibat kurangnya bimbingan ayah.
Ayah yang terlibat dalam kehidupan remaja, terutama dalam pendidikan dan pergaulan, dapat meningkatkan prestasi akademik serta keterampilan sosial anak. Kehadiran ayah secara fisik dan emosional membantu anak dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, mengembangkan self-control, serta menyesuaikan perilaku dengan norma sosial yang berlaku.