Setiap orang ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya. Pepatah populer ini juga berlaku pada anak ala era generasi strawberry. Yang ternyata, anak-anak generasi ini juga dipengaruhi oleh “orang tua strawberry”.
Dilansir dari laman resmi Metro TV (Anggie Meidyana, 2024), generasi stroberi atau strawberry generation adalah istilah yang mengacu pada anak muda yang lahir pada 1990 dan seterusnya. Istilah ini muncul perdana di Taiwan, yang mana generasi ini dideskripsikan sebagai personal dengan karakteristik manja, rentan, dan kurang produktif di dunia kerja, sehingga generasi ini dianggap sebagai generasi yang rapuh.
Rhenald Khasali (dalam Anggie Meidyana, 2024) sebagai Guru Besar Universitas Indonesia dan penulis buku yang berjudul Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh Menjadi Generasi Tangguh, mengatakan generasi stroberi adalah generasi yang memiliki banyak gagasan kreatif, tetapi mudah menyerah dan sakit hati. Penggambaran ini sama seperti buah stroberi yang cantik dan eksotis, tetapi jika mendapat tekanan sedikit, maka buahnya akan mudah rusak (Anggie Meidyana, 2024).
Menurut Dino Baskoro (2022), istilah tersebut cenderung bermakna negatif, karena mereka yang digolongkan sebagai generasi stroberi dikatakan egois dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, Dino Baskoro juga menyampaikan dalam artikelnya bahwa generasi stroberi ini mudah mengeluh, mudah menyerah, tersinggung dan memiliki ekspektasi berlebihan terhadap sesuatu. Tipikal yang seperti ini membuat anak menjadi kehilangan daya juang, apalagi ia berada di kehidupan dunia nyata (luar keluarga).
BACA JUGA:Fenomena 'Jastip', Pisau Bermata Dua Perdagangan Indonesia
Strawberry Parents
Selain adanya generasi strawberry yang dikenal “lembek”, ternyata ada pola asuh orang tua yang juga bisa memengaruhinya. Dari The Asian Parent (dalam Dino Baskoro, 2022), salah satu aspek yang memengaruhi mentalitas anak menjadi generasi stroberi yakni berasal dari lingkungan terdekat anak, yaitu kebiasaan atau pola asuh yang dilakukan oleh orang tua.
Berikut adalah faktor-faktor yang memengaruhi mentalitas anak mengapa bisa jadi generasi stroberi. Ihwal ini dilansir dari The Asian Parent (dalam Dino Baskoro, 2022) yang melihat pengaruh keberadaan orang tua generasi stroberi atau strawberry parents.
Pertama, selalu menuruti permintaan anak. Saat orang tua terlalu sering mengabulkan setiap permintaan anak tanpa banyak pertimbangan, anak jadi kurang mengembangkan kemampuan untuk menghadapi kekecewaan atau menerima penolakan.
Misalnya, ketika seorang anak ingin memiliki mainan terbaru yang mungkin kurang esensial (penting), orang tua langsung membelikannya meskipun tidak direncanakan dalam anggaran keluarga. Akibatnya, anak menjadi terbiasa dengan akses instan pada apa pun yang diinginkan.
BACA JUGA:Mendorong Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Apa yang dapat dilakukan orang tua pada posisi ini? Solusinya, orang tua dapat mengajarkan anak tentang proses mendapatkan sesuatu. Contohnya dengan memberi anak kesempatan untuk menabung dari uang saku mereka atau membatasi hadiah-hadiah agar hanya diberikan pada saat tertentu, seperti hari ulang tahun.
Kedua, menebus waktu kebersamaan orang tua-anak dengan uang atau hadiah. Banyak orang tua sibuk yang merasa bersalah karena kurang waktu bersama anak. Sebagai gantinya, mereka mencoba menebus waktu yang hilang dengan pemberian materi atau hadiah.
Misalnya, seorang ayah yang sering bekerja lembur akan membelikan gawai (gadget) terbaru sebagai bujukan karena tidak bisa menghadiri acara sekolah anak. Kebiasaan ini justru membentuk persepsi pada anak bahwa perhatian bisa tergantikan dengan uang atau barang.
Bagaimana mengatasi hal ini? Untuk mengatasinya, orang tua bisa menjadwalkan kegiatan bersama yang sederhana namun penuh makna. Contohnya seperti makan malam bersama tanpa gangguan gadget atau melakukan aktivitas luar ruangan pada akhir pekan.
BACA JUGA:Upaya Mencegah Praktik Judi Online Sejak Usia Dini