Ketiga, tidak pernah memberi konsekuensi pada anak. Anak-anak yang tidak pernah mengalami konsekuensi atau hukuman atas tindakan mereka cenderung sulit untuk bertanggung jawab.
Misalnya, jika anak tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan orang tua mengabaikannya tanpa teguran, anak tidak akan merasakan dampak dari kelalaiannya. Dalam jangka panjang, ihwal ini membuat anak cenderung menghindari tanggung jawab dan bergantung pada orang lain untuk memperbaiki kesalahan.
Bagaimana mengatasi hal ini? Sebaiknya, orang tua dapat menerapkan konsekuensi yang relevan. Contohnya, mengurangi waktu bermain jika anak mengabaikan tugasnya, atau memberikan tugas tambahan sebagai pengingat pentingnya disiplin.
Keempat, selalu membantu anak memenuhi kebutuhannya. Tak salah jika orang tua membantu mencukupi kebutuhan anaknya. Namun, terlalu sering membantu anak dalam hal-hal yang seharusnya bisa ia lakukan sendiri juga dapat melemahkan kemampuan anak untuk mandiri.
BACA JUGA:Menguatkan UMKM di Tengah Ancaman Krisis Ekonomi Global
Misalnya, orang tua yang selalu membantu anak mengerjakan proyek sekolah tanpa memberi kesempatan untuk mencoba sendiri, membuat anak jadi kurang percaya diri dan merasa harus bergantung pada orang lain.
Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Solusi untuk ini adalah orang tua bisa mendampingi anak saat ia mengerjakan tugasnya sendiri, dengan memberi arahan tanpa mengambil alih. Dengan cara ini, anak belajar untuk menghadapi tantangan dan menyelesaikannya.
Kelima, terlalu memanjakan anak. Kemanjaan yang berlebihan juga dapat membentuk karakter yang lemah dan cenderung mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Hal ini tentu akan sangat berbahaya bagi masa depan anak.
Misalnya, orang tua yang tidak membiarkan anaknya mengalami rasa lapar sedikit pun atau selalu mengurus semua keperluan anak tanpa melibatkan anak dalam prosesnya, bisa mengakibatkan anak tumbuh dengan mentalitas yang kurang tahan banting. Atau istilahnya kurang memiliki resiliensi.
Bagaiamana jika terjadi hal demikian?
Pada perihal ini, orang tua bisa melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga sederhana sesuai usianya. Contohnya, merapikan mainan atau membantu menyusun meja makan. Melalui aktivitas ini, anak belajar menghargai usaha dan kemandirian.
BACA JUGA:Dampak Terpilihnya Trump Jadi Presiden AS Bagi Ekonomi RI
Lima pola pengasuhan tersebut acap kali menekankan kenyamanan dan perlindungan berlebih kepada anak, membuat mereka tumbuh dengan keterampilan hidup yang minim. Fenomena ini juga berkaitan erat dengan generasi anak-anak zaman sekarang, yang oleh banyak pakar disebut "generasi strawberry".
Dalam bukunya The Coddling of the American Mind, Greg Lukianoff dan Jonathan Haidt (2018) berpendapat bahwa pola asuh overprotective membuat anak-anak tidak terlatih menghadapi situasi sulit. Artinya, ketika kita terus-menerus melindungi anak dari segala hal, kita secara tidak langsung mengirim pesan bahwa dunia terlalu berbahaya untuk mereka hadapi sendirian.
Hal inilah menjadi dasar dari fenomena orang tua strawberry, di mana orang tua terlalu fokus pada kenyamanan dan kemudahan anak, dan lupa untuk membiarkan mereka mengalami tantangan yang mendewasakan.
Penutup
Pola asuh orang tua yang begitu melindungi justru mengajarkan anak-anaknya untuk tumbuh dalam kenyamanan yang rapuh, seperti bunga yang tak pernah merasakan angin keras atau terik matahari. Tanpa sadar, mereka menyisipkan pesan tersembunyi bahwa anak-anak perlu dijaga dari kesulitan, bahwa kenyamanan adalah prioritas, dan kegagalan harus dihindari.