Hendrya Sylpana

High Context & Low Context, Mana Gaya Komunikasimu? (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

Pernahkan kalian berbincang kepada seseorang, namun maksud dan tujuan yang kalian utarakan tidak dimengerti oleh orang lain? Atau, pernahkah kalian menyinggung secara tidak langsung tentang seseorang, tetapi teman lainnya tidak peka dari kode komunikasi yang kalian berikan?

Misalnya saja, Dedy sebagai teman mengingatkan bulan depan adalah bulan Desember kepada Rusdi. Namun Rusdi membalas ucapan Dedy, bahwa bulan depan memanglah bulan Desember dan sekarang adalah November. Tio yang berada di sekitar mereka tetiba mengingatkan kepada Rusdi bahwa di bulan Desember itu ada teman circle mereka yang akan berulang tahun. Itulah maksud dari percakapan si Dedy yang sebenarnya.

Dari ilustrasi tersebut, separuh orang akan menafsirkan langsung seperti yang diartikan oleh Rusdi. Namun di sisi lain, ada orang seperti Tio yang tanggap dengan apa yang dikatakan oleh Dedy. Pernahkah kalian berada pada posisi ini? Pernahkan kalian tidak mengerti maksud dari komunikasi seperti ini? Atau, pernahkah kalian menguatarakan gaya komunikasi seperti Dedy?

Di salah satu sesi program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, penulis dikenalkan dengan pembelajaran yang bermakna dalam gaya berkomunikasi. Ketika sesi berlangsung, penulis menyadari betapa berbedanya cara kita berkomunikasi berdasarkan budaya, dan bagaimana gaya komunikasi ini dapat memengaruhi pemahaman dan kolaborasi antarbudaya. Materi ini ialah Communication Styles atai Gaya Komunikasi.

BACA JUGA:Mari Ber-lenso Bersama Prabowo

Apa itu High Context dan Low Context?

Edward T. Hall selaku antropolog budaya Amerika, pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam bukunya Beyond Culture (1976). Menurut Hall (1976), budaya high context ialah budaya yang mana komunikasi terjadi secara implisit, dengan informasi yang tersirat dalam konteks dan isyarat non-verbal. Misalnya, ekspresi wajah, nada suara, hingga bahasa tubuh. Sebaliknya, dalam budaya low context, komunikasi lebih eksplisit dan langsung, yakni dengan makna yang tertuang secara jelas dalam kata-kata.

Komunikasi dalam budaya high context  lebih terselubung karena informasi dianggap sudah ada dalam pikiran dan pengetahuan kolektif (Erin Meyer, 2014). Contohnya di Jepang, ihwal ini tercermin dalam konsep kuuki wo yomu, yang berarti ‘membaca udara’ atau membaca suasana hati orang lain tanpa kata-kata. Konsep ini tidak memiliki satu tokoh penggagas tunggal, melainkan berkembang sebagai bagian dari budaya komunikasi di Jepang.

Dalam riset Nailuvar Izzahara Zannubia (2021), istilah kuuki wo yomu mempunyai arti membaca suasana atau sebuah kemampuan untuk membaca situasi dari suatu keadaan. Ia menyampaikan bahwa kemampuan membaca suasana merupakan kemampuan berkomunikasi dengan tujuan untuk membuat kesan yang baik kepada orang lain. Istilah Jepang ini mencerminkan kecenderungan budaya Jepang yang high context, yang mana komunikasi lebih bersifat implisit, dan orang diharapkan memahami makna tersirat serta emosi dalam interaksi sosial.

BACA JUGA:Kembali Kepada Indonesia

Untuk budaya low context, setiap masyarakat pasti akan memakai gaya komunikasi ini. Karena ini komunikasi bersifat langsung, tanpa ada sesuatu yang harus ditafsirkan atau ditelaah terlebih dahulu. Terutama untuk obrolan ringan sehari-hari. Beberapa negara yang tergolong menganut budaya low context adalah Jerman, Swiss, Skandinavia dan Amerika Utara (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010).

Budaya Konteks Tinggi

Jika kita perhatikan cara komunikasi orang Indonesia sehari-hari, kita bisa menemukan bahwa sebagian orang menggunakan gaya komunikasi high context atau konteks tinggi. Misalnya, seorang perempuan yang bertanya kepada rekan kerja lelakinya di kantor, “Jam berapa biasanya pulang, Mas?” 

Maka, jawaban yang diberikan mungkin tidak langsung menjawab pertanyaan, melainkan diiringi kalimat lain yang tersirat. Kalimat tersirat bisa saja yakni kalau pekerjaan sudah sudah selesai, apakah boleh saya ikut pulang bersama? Atau, bisa jadi jika waktunya sudah pulang kerja, namun si perempuan menghimbau kepada rekannya untuk pulang saja dan tidak usah lembur.

Dalam situasi ini, makna yang sebenarnya lebih banyak ditemukan pada isyarat non-verbal dan pemahaman konteks. Sehingga pesan disampaikan dengan cara yang lebih halus, sopan, dan tidak langsung.

BACA JUGA:Kandidat Pilkada 2024 Berburu Tuah Jokowi

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan