BELITONGEKSPRES.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyelidiki dugaan aliran dana yang melibatkan Tom Lembong, yang kini menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan.
Dalam penyelidikan ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa negara mengalami kerugian sekitar Rp400 miliar akibat praktik korupsi tersebut.
"Kerugian keuangan negara ini masih dalam proses perhitungan lebih lanjut. Kami juga akan mendalami aliran dana yang terkait dengan kasus ini," ungkap Harli di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Rabu.
Proses penyidikan kini melibatkan pengumpulan keterangan dari berbagai pihak yang terlibat, termasuk satu tersangka lainnya berinisial CS, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Selain itu, ada delapan perusahaan yang diduga terlibat dalam praktik kongkalikong ini.
BACA JUGA:BPKH Soroti Potensi Indonesia sebagai Pusat Keuangan Haji Berkat Populasi Muslim Besar
BACA JUGA:Cak Imin Usulkan Distribusi Subsidi Langsung ke Masyarakat, Bukan Berupa Potongan
"Pengusutan akan fokus pada delapan perusahaan tersebut dan kemungkinan adanya aliran dana kepada mereka. Ini semua bergantung pada perkembangan keterangan yang kami peroleh," lanjut Harli.
Kejaksaan Agung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni Tom Lembong, yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2015–2016, dan CS dari PT PPI. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa keterlibatan Tom Lembong dimulai pada 12 Mei 2015, saat rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia tidak memerlukan impor gula karena surplus.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong memberikan izin untuk impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton tanpa koordinasi yang memadai dengan instansi terkait. Persetujuan ini juga tidak didukung oleh rekomendasi dari kementerian yang bertanggung jawab untuk mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.
Dalam konteks ini, Qohar menekankan bahwa sesuai dengan peraturan yang berlaku, hanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berhak mengimpor gula kristal putih. Pada 28 Desember 2015, diadakan rapat koordinasi ekonomi yang menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan akan kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton pada tahun 2016.
BACA JUGA:Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Usulkan Penerapan TPPU untuk Melawan Mafia Tanah
Untuk mengatasi masalah ini, CS dari PT PPI memerintahkan bawahannya untuk bertemu dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, salah satunya adalah PT AP. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut seharusnya hanya memiliki izin untuk mengelola gula rafinasi, mereka mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih.
PT PPI kemudian tampak membeli gula dari perusahaan-perusahaan ini, padahal mereka menjualnya kepada masyarakat melalui distributor dengan harga yang lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan, yaitu Rp16.000 per kilogram, sedangkan HET saat itu adalah Rp13.000 per kilogram.
"Dari proses pengadaan dan penjualan gula tersebut, PT PPI menerima fee sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat," tambah Qohar.