Menilik Pulau Bando, Konservasi Alam Pertama Terapkan Energi Terbarukan

Selasa 29 Oct 2024 - 21:04 WIB
Oleh: Muhammad Zulfikar

Penerapan energi bersih dan hijau ini diharapkan menjadi percontohan bagi kawasan konservasi lain, sehingga transisi energi fosil ke energi terbarukan dapat terealisasi dengan maksimal.

Energi berkelanjutan

Sebagai kawasan konservasi perairan nasional pertama di Indonesia yang menerapkan energi baru terbarukan dengan pola hibdridasi, Yayasan Indonesia Cerah menyambut baik langkah Pertamina Patra Niaga Sumbagut AFT Minangkabau karena telah berupaya mewujudkan energi bersih dan hijau.

BACA JUGA:Perlinsos, Ikhtiar Menaikkan Kelas Masyarakat Pra-Sejahtera

Research Associate Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati mengatakan langkah yang dilakukan perusahaan pelat merah itu patut diapresiasi. Apalagi, penggunaan energi terbarukan sejalan dengan upaya dunia internasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Penerapan energi terbarukan di Pulau Bando tidak hanya untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi, melainkan lebih dari itu, langkah tersebut dapat menjadi contoh nyata dan segera diikuti oleh konservasi alam lainnya yang masih menggunakan energi fosil.

Diharapkan langkah tersebut tidak terhenti hanya di kawasan konservasi, namun juga diikuti oleh berbagai institusi atau lembaga pemerintah hingga diterapkan di permukiman masyarakat.

Meskipun demikian, Pertamina dan pengelola Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya diharapkan agar menjamin keberlangsungan penggunaan energi terbarukan. Sebab, implementasinya tidak hanya sebatas seremonial atau sampai pada pelaksanaan satu program  yang kemudian tidak ada jaminan keberlanjutan.

Untuk memastikan dan menjamin keberlanjutan penerapan energi terbarukan, Sartika mendorong Pertamina atau pengelola kawasan konservasi memberikan pelatihan perawatan PLTB dan PLTS secara berkala kepada petugas di pulau itu.

BACA JUGA: Baim Wong Pilih Fokus Tenangkan Diri di Tengah Proses Perceraian

Apabila tidak ada pendampingan dan pelatihan perawatan PLTS maupun PLTB, dikhawatirkan para pengelola konservasi akan kebingungan dalam mengatasi kendala-kendala teknis yang mungkin terjadi.

Kekhawatiran itu tidak lepas dari kasus yang terjadi di Desa Waiheru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan. Di desa itu, ia melakukan penelitian terkait implementasi energi terbarukan yang digunakan masyarakat. Sayangnya, penggunaan energi tersebut tidak berjalan lama akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam merawat alat.

Pembangkit listrik terbarukan di desa tersebut merupakan program listrik masuk desa yang digagas oleh Kementerian ESDM. Pada awalnya penerapan energi terbarukan berjalan dengan baik, namun program itu hanya mampu bertahan selama setahun.

Penyebabnya, masyarakat setempat tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup untuk memperbaiki instalasi kelistrikan, terutama ketika terjadi kerusakan. Selain itu, sulitnya akses menuju desa tersebut juga menjadi kendala bagi pihak luar untuk membantu perbaikan.

Oleh karena itu, kejadian tersebut harus menjadi pengingat pentingnya membekali petugas konservasi di Pulau Bando terkait pemeliharaan alat PLTB dan PLTS. Sehingga, ketika terjadi kerusakan dapat segera ditindaklanjuti agar tidak mengganggu proses inkubasi telur penyu di Pulau Bando yang mengandalkan energi listrik.

BACA JUGA:Menilik Lini Bisnis Sritex Usai Pailit

Digitalisasi konservasi

Secara umum langkah-langkah konservasi ramah lingkungan tersebut terangkum dalam sebuah program Sistem Informasi Pemberdayaan Nagari Berbasis Konservasi atau lebih dikenal dengan Si Rancak Ulakan. Inovasi sosial ini merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang bertujuan memberikan dampak positif terhadap kawasan konservasi dan lingkungan sekitar.

Kategori :