PANGKALPINANG, BELITONGEKSPRES.COM - Kasus pertambangan timah ilegal di hutan lindung Bubus, Bukit Ketok, Belinyu, Kabupten Bangka yang berlangsung dari Maret 2022 hingga Juni 2023 semakin memanas.
Ryan Susanto alias Afung, putra dari bos timah Sung Jauw, saat ini tengah duduk di kursi terdakwa Pengadilan Tipikor Pangkalpinang atas aktivitas ilegal tersebut.
Menurut Prof Ibnu Nugroho, ahli pidana dari Universitas Jenderal Sudirman, tindakan ini tidak hanya melanggar hukum pertambangan dan kehutanan, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor).
Keterangan ini disampaikan oleh Prof Ibnu Nugroho secara daring saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Tipikor Pangkalpinang pada 14 Oktober 2024. Sidang diketuai hakim Dewi Sulistiarini yang beranggotakan M Takdir dan Warsono.
BACA JUGA:Polres Bangka Tengah Ambil Tindakan Tegas Terhadap Penambang Timah Ilegal
BACA JUGA:Kampung Digital Bangka Selatan Dorong Pertumbuhan Talenta Kreatif
Selama ini, tim hukumnya, yang dipimpin oleh Andi Kusuma dan Budiono, berusaha mengarahkan kasus ini sebagai pelanggaran hukum Minerba atau kehutanan. Namun, menurut Ibnu, kasus ini masuk dalam kategori tipikor karena mengakibatkan kerugian besar bagi negara.
Ibnu menegaskan bahwa kejaksaan memiliki wewenang untuk menyelidiki tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang telah diperbarui dengan undang-undang nomor 20 tahun 2000.
Dia menjelaskan bahwa dalam kasus ini berlaku asas lex specialis sistematis, karena terdapat kerugian negara yang jelas dan dapat dihitung.
"Oleh karena itu, undang-undang yang paling tepat diterapkan adalah undang-undang tindak pidana korupsi. Dengan demikian, Kejaksaan berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan," tegasnya.
BACA JUGA:Distributor Sembako di Babel Tambah 17 Ton Bawang Putih, Stok Aman dan Harga Stabil
BACA JUGA:Pasokan Minyak Goreng Babel Bertambah, Harga Tetap Stabil
Sebagai seorang akademisi, Ibnu juga menguraikan secara rinci dasar hukum dari kasus ini. Menurutnya, salah satu prinsip fundamental dalam ilmu hukum adalah lex specialis derogat legi generali, yang secara harfiah berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum.
"Dalam hukum pidana, kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk hukum pidana umum, sementara kejahatan atau pelanggaran yang diatur dalam undang-undang khusus di luar KUHP termasuk hukum pidana khusus," jelasnya.
Lebih lanjut, Ibnu menyebutkan bahwa dalam perkembangan hukum pidana, asas lex specialis derogat legi generali tidak selalu cukup untuk menyelesaikan sengketa hukum ketika suatu tindakan melanggar lebih dari satu undang-undang yang dikategorikan sebagai kejahatan khusus.