BACA JUGA:Membangun Kepedulian Orang Terdekat untuk Bentengi Diri Dari Narkoba
PPATK juga merinci demografi pemain judi online lebih kurang ada 4.000.000 orang yang pengelompokannya dilakukan berdasarkan kategori usia < 10 tahun sebanyak 2 persen, usia 10 – 20 tahun sebanyak 11 persen, usia 21 - ≤ 30 tahun sebanyak 13 persen, usia 30 – 50 tahun sebanyak 40 persen, dan usia ≥ 50 tahun sebanyak 34 persen.
Padahal perjudian merupakan salah satu kegiatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial, dan psikologis yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal lanjutan, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.
"Aktivitas judi online dapat melibatkan anak sebagai pelaku, korban, saksi maupun anak dari pelaku perjudian. Dari sisi tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga, jika orang tua menjadi pelaku judi online, anak akan berpotensi menjadi korban kekerasan hingga penelantaran. Anak juga bisa menjadi korban stigmatisasi akibat dari aktivitas judi yang dilakukan oleh orang tuanya," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
KemenPPPA pun gencar melakukan upaya pencegahan judi online yang meliputi internalisasi materi etika digital, literasi digital dan dampak negatif judi online dalam satuan pendidikan; melakukan serangkaian program sosialisasi, workshop, seminar bagi tenaga pendidik terkait penyebaran pemahaman mengenai bahaya dan kerugian perjudian online.
BACA JUGA:Strategi Pengelolaan Tambang Pasca Terbitnya WIUPK untuk Ormas
Selain itu, juga dengan melakukan program pengembangan kesadaran terhadap kesehatan mental maupun layanan konseling di lembaga pendidikan, menyediakan wadah kreativitas dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan kewirausahaan, serta sosialisasi larangan judi di berbagai platform.
Upaya pencegahan lainnya adalah melibatkan kelembagaan masyarakat yang dibentuk oleh KemenPPPA seperti PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), relawan SAPA, Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Forum Anak, dan lainnya.
KemenPPPA juga bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk penanganan kasus judi online yang melibatkan anak sebagai korban, pelaku, saksi, maupun anak dari pelaku khususnya untuk pendampingan.
"Upaya-upaya yang kami lakukan tidak terlepas untuk mengutamakan dan melindungi kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak," kata Nahar.
BACA JUGA:Revitalisasi Organisasi Mahasiswa di Era Gen Z: Tantangan dan Solusi Menuju Masa Depan Berkelanjutan
Dampak pada keluarga
Sejauh ini, KemenPPPA telah menerima sedikitnya enam laporan masyarakat mengenai kasus judi online yang telah berdampak buruk pada keluarga pelapor.
Sejumlah pengaduan masyarakat tersebut disampaikan melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Enam kasus itu berasal dari Madiun, Tangerang, dua kasus dari Jombang, Jakarta Utara, dan Tasikmalaya. Pelapor kebanyakan adalah para istri yang suaminya berjudi.
"Karena suaminya berjudi, sudah ketergantungan sama judi, (suami) kayak punya keyakinan bahwa judi itu akan membuat hidupnya lebih baik, tetapi dampak akhirnya dia enggak punya uang, gajinya hilang, dia enggak peduli dengan anaknya," kata Nahar, menjelaskan. Bahkan, ada yang si suami sampai menjual perlengkapan sekolah anaknya untuk berjudi.