Privilege 'Orang Dalam vs Orang Berbakat'

Annisa Nur Aziz, S.Pd. (Dok. Pribadi)--

Semakin canggih zaman, semakin canggih pula manusianya. Pada era yang serba tahu ini, kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial semakin meningkat. Topik privilege sedang hangat-hangatnya bermanuver dalam kondisi sosial masyarakat kini. Privilege merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk kepada suatu keuntungan khusus atau hak istimewa yang diperoleh oleh individu, kelas, atau kasta tertentu dalam lingkungan sosial di masyarakat. 

Pada dasarnya setiap manusia diberkahi dengan privilege masing-masing. Hal ini tidak selalu berhubungan dengan orang yang lebih kaya, lebih pintar, atau lebih cantik. Privilege bersifat kompleks dan dapat berinteraksi. Anugrah kesehatan yang baik merupakan privilege paling sederhana namun paling berarti bagi manusia.

Namun, masih banyak orang yang beranggapan anugrah tersebut tidak cukup diperhitungkan karena merupakan hal yang biasa mereka nikmati. Privilege status sosial, kondisi ekonomi, dan tingkat pendidikan sangat diagungkan dan diinginkan oleh sebagian orang. Namun, seseorang mungkin memiliki privilege dalam satu aspek namun kurang beruntung dalam aspek lainnya. 

BACA JUGA:Membangun Kepedulian Orang Terdekat untuk Bentengi Diri Dari Narkoba

Hak istimewa dapat dimanfaatkan pada tingkat pribadi, interpersonal dan institusional. Hak-hak sosial, ekonomi, politik dan psikologis yang diperoleh dengan cara yang tidak wajar, umumnya akan mengorbankan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Sehingga persepsi privilege berikatan kuat dengan diskriminasi, serta anti terhadap keadilan dan kesetaraan yang akan berdampak terhadap kesenjangan sosial. 

Hak istimewa seperti akses pendidikan, kekayaan, serta jaringan sosial memainkan peran krusial dalam kontribusi pencapaian kesuksesan suatu individu dengan memperbesar peluang, serta mempengaruhi persepsi dan hasil dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk tempat kerja.

Privilege “orang dalam” menimbulkan banyak kontroversi dalam penentuan tahta jabatan di negeri antah berantah. Frasa orang dalam dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dimana seseorang bisa mendapatkan suatu perlakuan khusus atau jabatan atas rekomendasi yang dimilikinya karena ada hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan penguasa atau oknum yang bekerja di perusahaan dan instansi terkait. Fenomena ini terjadi dalam berbagai sektor kebutuhan, seperti ketenagakerjaan, pendidikan, pelayananan akses kesehatan, serta berbagai pelayanan lainnya. 

Reaksi publik sangat kontroversial dengan privilege orang dalam. Isu ini sangat berkembang karena terjadi di berbagai sektor publik. Injeksi dan subsidi jabatan masih sangat lumrah terjadi dengan dalil aktor lebih kapabel, kompeten, dan “muda” sehingga tidak perlu melalui jalur seleksi alam.

BACA JUGA:Perlunya Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat untuk Berantas Judi Online

Meskipun kenyataannya aktor tersebut memangku jabatan karena  memiliki kekerabatan keluarga yang dekat dengan para pemangku kepentingan. Beberapa kasus kriminal besar dapat ditutupi dan dihilangkan karena aktor adalah anak atau kerabat dekat penguasa negeri antah berantah.

Jalur orang dalam sangat identik dengan nepotisme yang lebih mengutamakan sanak saudara atau kerabat terdekat untuk memperoleh suatu hal yang biasanya mengacu pada jabatan atau posisi tertentu. Praktik ini memberikan efek domino jika individu yang lolos tidak memiliki kompetensi yang mumpuni di bidang terkait dikarenakan adanya pengecualian dalam tahapan seleksi alam yang dianggap sebagai formalitas belaka.

Hal ini akan berdampak besar terhadap kualitas dan kapabilitas suatu instansi dan akan mempengaruhi tingkat kinerja pegawai akibat adanya kecemburuan sosial dalam lingkungan instansi. Jika dibiarkan terus menerus, jalur ini akan menimbulkan efek berantai lainnya seperti melemahkan inovasi dan kreativitas karena aktor yang terlibat cenderung akan mempertahankan status quo dari pada membawa ide-ide baru.

Aktor yang terlibat harusnya mawas diri dengan tidak memaksakan koneksinya dalam memberikan rekomendasi apabila merasa tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Mekanisme take and give harusnya dipegang teguh oleh aktor dengan memberdayakan kapabilitas dirinya untuk membangun organisasi yang dinaunginya,

BACA JUGA:Strategi Pengelolaan Tambang Pasca Terbitnya WIUPK untuk Ormas

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan