Ryan Susanto Bebas dari Kasus Korupsi Penambangan Timah, Akankah Aon Cs Bernasib Serupa?
Terdakwa kasus korupsi timah Hasan Tjhie (kiri) dan Achmad Albani (tengah), dan Tamron alias Aon (kanan) saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 12 September 2024--(ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/YU)
BELITONGEKSPRES.COM - Vonis bebas terdakwa Ryan Susanto (Afung) dalam kasus korupsi terkait kegiatan usaha penambangan timah di kawasan hutan lindung dan produksi di Kelurahan Bukit Ketok, Belinyu, Kabupaten Bangka, mengejutkan banyak pihak.
Kasus hukum yang dihadapi Ryan Susanto, anak cukong timah ternyata hampir serupa dengan yang tengah dihadapi Thamron alias Aon Cs. Aon Cs saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Sebagaimana diketahui, Ryan Susanto dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi penambangan timah ilegal di Kawasan hutan sesuai dengan dakwaan utama dan alternatifnya.
Oleh karena itu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Pangkalpinang memutuskan untuk menjatuhkan vonis bebas terdakwa Ryan dari seluruh dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU),
Majelis hakim juga memerintahkan agar Ryan segera dibebaskan dari tahanan setelah putusan dibacakan, serta memulihkan seluruh hak-haknya, termasuk kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.
Sementara itu, JPU dari Cabjari Belinyu yang dipimpin oleh Noviansyah menuntut terdakwa Ryan dengan hukuman penjara selama 16 tahun 6 bulan. Selain itu, terdakwa juga dikenakan denda sebesar Rp 750 juta, dengan ketentuan pidana kurungan selama 3 bulan jika tidak membayar denda.
Tak hanya itu, anak cukong timah Belinyu itu juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1.803.850.700 dengan subsider penjara selama 8 tahun 3 bulan. Menanggapi vonis bebas yang diterima Ryan, JPU memastikan akan mengajukan kasasi.
Sementara itu, penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai dasar hukum pidana mengacu pada asas pertanggungjawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan sesuai dengan peran masing-masing.
Hal ini disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, yang dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Jakarta Pusat, pada Senin, 2 Desember 2024.
Eva juga menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berlandaskan pada asas legalitas, yang berarti hukum tidak bisa dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.
Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Eva mengkritisi penerapan pasal 14 UU Tipikor. Ia menjelaskan bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak melibatkan APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.
"Jika kerugian tersebut tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma dalam UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang telah dirumuskan dalam undang-undang," jelas Eva.
Pasal 14 UU Tipikor telah memiliki batasan yang jelas. Jika ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melalui judicial review.
"Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus mengujinya melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan UU Tipikor," tambahnya.