Polisi Tembak Siswa di Semarang, DPR: Regulasi dan Praktik Penggunaan Senjata Api Harus Segera Dievaluasi
Ilustrasi penembakan dengan memakai senjata api. --ANTARA/doc.Pixabay
BELITONGEKSPRES.COM - Kasus meninggalnya siswa SMKN 4 Semarang, berinisial GRO, akibat tembakan senjata api oleh anggota Polrestabes Kota Semarang, Aipda Robig Zaenudin, kembali menyoroti isu penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian.
Peristiwa tragis di Sragen, Jawa Tengah ini mengundang perhatian luas, baik dari masyarakat maupun para legislator.
Aipda Robig Zaenudin telah ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan pelanggaran prosedur dalam penggunaan senjata api. Tidak adanya tembakan peringatan sebelum melepaskan peluru mematikan menjadi sorotan utama, mengindikasikan lemahnya pengawasan dan pelatihan terkait prosedur operasional standar (SOP).
Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyebut kasus ini menambah daftar panjang insiden penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian.
BACA JUGA:Pemerintah Kucurkan Anggaran Rp 81 Triliun untuk Tingkatkan Kesejahteraan 1,9 Juta Guru
BACA JUGA:SEMMI: Usulan Penempatan Polri di Bawah Kemendagri adalah Langkah Mundur
Menurutnya, evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan praktik penggunaan senjata api harus segera dilakukan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
“Penggunaan senjata api oleh polisi harus lebih dibatasi. Kita bisa belajar dari beberapa negara seperti Inggris, Norwegia, dan Selandia Baru, di mana aparat yang bertugas menjaga ketertiban hanya menggunakan alat seperti tongkat atau bubuk merica. Pendekatan ini mungkin relevan untuk diterapkan di Indonesia,” ujar Abdullah, Senin 2 Desember.
Abdullah juga menyoroti pentingnya pemahaman mendalam terkait filosofi penggunaan senjata api. Tanpa landasan etika profesional dan pemahaman hukum yang kuat, senjata api berpotensi disalahgunakan, baik terhadap masyarakat sipil maupun di internal kepolisian.
“Kapolri harus menegaskan bahwa profesionalisme dan etika profesi adalah landasan utama dalam bertugas. Senjata, jika disalahgunakan, dapat menghilangkan nyawa dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” tegas legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah VI ini.
BACA JUGA:Kemenkomdigi dan KPAI Kolaborasi Membangun Ruang Digital yang Aman Bagi Anak
BACA JUGA:Tito Karnavian Tolak Usulan Polri di Bawah Kemendagri: 'Saya Berkeberatan'
Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran oleh aparat, baik bersenjata maupun tidak, adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep HAM, menurut Abdullah, harus dipahami secara menyeluruh oleh setiap anggota polisi untuk mencegah pelanggaran serupa.
Pernyataan Kapolres Semarang, Kombes Irwan Anwar, yang sempat menyebut tindakan Aipda Robig sesuai prosedur dan menyebut korban sebagai anggota gangster, menuai kritik tajam. Banyak pihak menilai respons tersebut cenderung defensif dan mengesampingkan fakta penting dalam kasus ini.