Kesejahteraan Guru dan Jeratan Pinjol
Menteri Agama (Menag) RI Nasaruddin Umar saat memberikan sambutan pada malam puncak peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di Jakarta, Jumat (29/11/2024). -Kemenag RI-ANTARA/HO
BELITONGEKSPRS.COM - Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN (Aparatul Sipil Negara) dan non-ASN akan meningkat pada 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik sebesar Rp16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.
"Hari ini saya agak tenang berdiri di hadapan para guru, karena saya bisa menyampaikan bahwa kami walau baru berkuasa satu bulan, kami sudah bisa umumkan bahwa kesejahteraan guru bisa kami tingkatkan," ujar Presiden saat berpidato dalam agenda puncak peringatan Hari Guru Nasional 2024 yang disambut tepuk tangan meriah.
Sungguh sebuah pidato yang menggembirakan bagi para guru di seluruh Tanah Air. Sebab, di tengah himpitan ekonomi dan menjadi garda terdepan dalam tugas mencerdaskan bangsa, harapan para guru untuk sejahtera seolah hadir di depan mata. Menggembirakan!
Tentu kita semua berharap, memasuki tahun 2025 yang tinggal menghitung hari, apa yang dipidatokan presiden dapat terealisasi. Sehingga para guru menjadi sejahtera dan dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar sesuai dengan tugas dan fungsinya.
BACA JUGA:Di Antara Gugus Batu Karang: Kisah Djoni Menuju Kursi Bupati Belitung
Salah satu fakta mencengangkan terkait kesejahteraan guru adalah bahwa 42 persen masyarakat yang terjerat pinjaman online ilegal berprofesi sebagai guru, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023.
Hal ini diperkuat oleh data Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), bahwa kebanyakan guru yang terjerat pinjaman online adalah guru honorer yang memiliki banyak hutang dan tidak sanggup melunasinya.
Urutan kedua adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 21 persen. Lalu diikuti oleh ibu rumah tangga sebesar 18 persen, karyawan 9 persen, dan pelajar 3 persen.
Ada beberapa penyebab guru menjadi korban pinjaman online, yakni pertama, rendahnya literasi keuangan dan tekanan kebutuhan hidup. Kedua, memiliki akses terhadap layanan keuangan digital namun tidak dapat membedakan pinjol yang legal dan ilegal. Ketiga, melunasi utang lainnya.
Keempat, mendapatkan pencairan lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak, perilaku konsumen, dan tekanan ekonomi. Kelima, guru banyak berasal dari generasi sandwich, yang mencari nafkah untuk orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.
BACA JUGA:Mengurai Pelanggaran Hak Pekerja: Ketika Upah Tidak Lagi Menjadi Hak Mutlak
Keenam, terpaksa memanfaatkan pinjol untuk membeli perlengkapan mengajar, seperti laptop, dan ketujuh, Penghasilan guru yang tergolong rendah, terutama guru honorer, sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.
Jerat pinjol
Penelitian Atik Andrian Subairi (2023) mendapati bahwa ternyata pinjaman online yang marak di tengah masyarakat sangat merugikan nasabah baik berupa pengembalian hutang dengan bunga tinggi serta penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) yang menggunakan cara-cara kasar, tidak beradab yang membuat takut para nasabah gagal bayar.
Maraknya pinjaman online di era digital dan menjadi tren dalam masyarakat, tidak terlepas dari berbagai tawaran kemudahan saat meminjam uang. Seperti cukup bermodalkan foto dengan KTP, sehingga membuat banyak orang terlibat tergiur hingga terjerat ke dalamnya.