Menilik Pulau Bando, Konservasi Alam Pertama Terapkan Energi Terbarukan
Community Development Officer AFT Minangkabau Wahyu Hamdika mengedukasi mahasiswa tentang penerapan energi terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Pulau Bando, Senin (21/10/2024). -Muhammad Zulfikar-ANTARA
Sejak E-Katuang difungsikan, enumerator telah berhasil menetaskan lebih dari 200 butir telur penyu tanpa ada yang gagal. Bahkan, alat tersebut dapat merekayasa genetik atau penentuan jenis kelamin satwa yang dilindungi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Apabila enumerator ingin menetaskan penyu jantan, maka cukup mengatur suhu pada rentang 27 hingga 29 derajat Celsius dengan tingkat kelembapan 68 persen. Sementara, untuk penyu betina suhunya berkisar 30 hingga 31 derajat Celsius dengan kelembapan 75 persen.
Untuk mengetahui jangka waktu penyu akan menetas, termasuk mengamati proses keluar dari cangkang telur, petugas memasang kamera pengintai (CCTV). Dengan menggunakan teknologi tersebut, proses rangkaian awal inkubasi hingga peneluran setiap penyu terekam setiap saat.
Untuk mempermudah riset dan penelitian tentang satwa penyu, enumerator juga memasang kode batang yang dapat dipindai kapan saja guna kepentingan ilmu pengetahuan terkait penyu yang sedang diinkubasi.
Sementara itu, Kepala Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru KKP RI Rahmat Irfansyah mengatakan bahwa penerapan energi terbarukan secara hibridasi, yakni penggabungan antara PLTB dan PLTS di kawasan konservasi akan menjadi pelopor atau perintis implementasi energi terbarukan di kawasan konservasi, terutama yang berada di bawah naungan KKP RI.
BACA JUGA:Mengukir Kemandirian Energi Bersih di 'Telur Emas' Bali
LKKPN Pekanbaru mencatat penggunaan energi PLTB dan PLTS di kawasan konservasi perairan nasional sangat memungkinkan daripada penggunaan sumber energi lain. Selain didukung potensi angin dan sinar matahari, umumnya keberadaan kawasan konservasi perairan nasional juga jauh dari daratan, sehingga sulit untuk menggunakan sumber energi lain.
Penerapan energi terbarukan yang ramah lingkungan ini sangat relevan dengan potensi yang ada di kawasan konservasi perairan laut nasional.
Penetapan Pulau Bando sebagai bagian dari konservasi perairan nasional dilatarbelakangi riset seorang ilmuan asal Jerman yang melakukan penelitian di kawasan perairan Pieh dan sekitarnya pada 1998. Kala itu, dosen asal Jerman mendapati perairan di Pulau Pieh dan sekitarnya ditumbuhi beragam jenis terumbu karang yang subur dan masih terjaga.
Hal itu juga diperkuat oleh dorongan salah satu perguruan tinggi di Ranah Minang yang menyarankan agar kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional mengingat keberadaan terumbu karang di perairan itu tumbuh dengan baik, termasuk biota laut lainnya.
Selain penyu dan terumbu karang, KKP RI juga berhasil mengidentifikasi 12 jenis mamalia laut yang hidup di Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Spesies mamalia laut tersebut adalah paus omura atau paus gembala laut (Balaenoptera omurai), paus pembunuh palsu dan paus kepala melon.
Kemudian lumba-lumba pemintal kerdil, lumba-lumba pemintal, lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba risso, lumba-lumba bungkuk, lumba-lumba hidung botol biasa, lumba-lumba fraser, serta lumba-lumba bercak.
BACA JUGA:Asa Pekerja Migran RI di Malaysia dari Kabinet Merah Putih
Dengan besarnya potensi alam bawah laut, pemerintah mengedepankan konsep pentahelix dalam memaksimalkan Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Konsep ini tergolong berhasil karena praktik buruk perburuan telur penyu yang dulunya marak dijumpai dan dijual bebas di Kota Padang, kini teratasi dengan baik.
Wisata survival
Untuk menuju Pulau Bando, wisatawan atau peneliti dapat menaiki perahu dari Pantai Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Estimasi perjalanan dari bibir muara menuju Pulau Bando berkisar 1 jam 20 menit. Jika beruntung, wisatawan akan mendapati kelompok lumba-lumba yang melompat bebas di sekitar perairan tersebut.