Indonesia Emas yang Hijau dan Adil
ALEXANDER IRWAN--
SEKARANG ini di ranah publik berkembang sebuah narasi Indonesia Emas yang dikaitkan dengan ulang tahun keseratus kemerdekaan Indonesia pada 2045. Antusiasme tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari kelompok swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Narasi itu juga digunakan oleh capres dan cawapres 2024 pada masa kampanye ini. Mereka sudah mengusung gagasan masing-masing untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengedepankan ketahanan energi dan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menggarisbawahi pentingnya menggapai swasembada energi dan menjadikannya prioritas kolektif melalui swasembada pangan dan air. Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengutamakan aspek transisi energi sebagai instrumen utama menuju ekonomi hijau.
Narasi Indonesia Emas berakselerasi karena berhasil menggugah rasa kebanggaan kolektif yang bercampur dengan rasa patriotisme bahwa pada 2045 Indonesia akan berhasil menjadi negara maju. Harkat dan martabat bangsa akan melambung tinggi di kancah internasional.
Penulis mencatat elemen patriotisme di atas berbahaya. Sebab, mereka yang kritis pada keyakinan terkait Indonesia Emas bisa dicap sebagai penentang pembangunan Indonesia untuk mencapai kebanggaan bersama menjadi negara maju. Mereka berpotensi diperlakukan sebagai musuh publik meskipun argumen mereka berbasis data, bukti ilmiah, dan kajian tren perkembangan ekonomi masa lalu.
Permasalahannya, ada persyaratan tertentu bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju. Salah satunya, perekonomian Indonesia harus bisa lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Seperti yang dikemukakan dalam RPJPN 2025–2045, perekonomian Indonesia harus mampu tumbuh sekitar 7 persen (%) per tahun selama 20 tahun ke depan. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) juga memproyeksikan hal senada.
BACA JUGA:Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan
BACA JUGA:Hilangnya Visi Indonesia Emas di Debat Capres
Tidak semua pihak sepakat pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 7% per tahun. Apalagi jika harus konsisten 20 tahun. Saat ini perekonomian Indonesia begitu terlilit dengan perkembangan geopolitik dan perekonomian global. Dan kita tidak bisa menyimpulkan perekonomian dunia akan baik-baik saja selama 20 tahun ke depan.
Selain itu, laporan ”Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024–2029” keluaran LPEM FEB UI pada 2023 mencatat, dalam dua dekade terakhir perekonomian Indonesia tumbuh di kisaran 5%. Dari segi struktur perekonomian, posisi Indonesia di berbagai global commodity chains, produktivitas angkatan kerja dan tidak stabilnya politik global, tampaknya akan membuat Indonesia sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 7% per tahun selama 20 tahun ke depan.
Kepentingan politik dan ekonomi sering kali membuat pengambil kebijakan kurang bisa mempertimbangkan biaya dan risiko jangka panjang. Dan keputusan politik pun diambil dengan mencanangkannya menjadi sebuah program prioritas nasional yang kemudian didukung oleh perundang-undangan dan regulasi pelaksanaannya. Bisa diramalkan akan terjadi perdebatan yang tajam dan seru tentang apakah pertumbuhan ekonomi bisa dipacu sampai pada kisaran 7% atau tidak.
Jika pertumbuhan ekonomi 7% tetap menjadi prioritas nasional, perlu ditelaah biaya dan konsekuensi yang harus ditanggung. Salah satu sektor perekonomian yang akan menjadi target penggenjotan pertumbuhan ekonomi adalah kehutanan dan pertambangan.
Infrastruktur perundang-undangannya sudah disiapkan dengan UU Cipta Kerja dan revisi UU Mineral yang telah mereduksi standar dan safeguard terhadap lingkungan hidup, meningkatkan luasan lahan serta periode konsesi lahan, serta membuat hubungan tenaga kerja menjadi lebih fleksibel, yang tentu saja memperlemah kekuatan buruh.
BACA JUGA:Kekalahan Propaganda Zionis
BACA JUGA:Ironi Pungli di Lembaga Antikorupsi