Sederet Peristiwa Menonjol 2023 di Mahkamah Konstitusi
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie--Antara
Pada Selasa (15/8), MK memutuskan bahwa permohonan para pemohon dikabulkan untuk sebagian. MK menyatakan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian, MK mengubah norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menjadi “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Syarat usia minimal capres dan cawapres
Syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diubah menjadi “Paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” lewat Putusan MK Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Perkara uji materi tersebut dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru Re A. Ia menggugat Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam petitumnya, Almas memohon frasa “Berusia paling rendah 40 tahun” pada pasal dimaksud dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai dengan “... atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Pada Senin (16/10), MK memutuskan mengabulkan permohonan Almas untuk sebagian. Kendati begitu, dua Hakim Konstitusi, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion) serta empat Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).
BACA JUGA:Fanatisme Politik Masyarakat Indonesia
Anwar Usman dipecat dari Ketua MK
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 berlanjut ke meja etik. Putusan tersebut menjadi kontroversi di tengah masyarakat karena dinilai sarat konflik kepentingan. Berbagai laporan masyarakat bermunculan terkait putusan tersebut. Seluruh hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik.
Namun, nama Anwar Usman menjadi yang paling ramai dilaporkan. Pasalnya, ia diduga memuluskan langkah salah satu calon wakil presiden untuk mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Diketahui, Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi calon wakil presiden nomor urut 2.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) kemudian dibentuk untuk menangani laporan yang masuk. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta dua anggotanya Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih dilantik pada Selasa (24/10). Mereka kemudian menggelar sidang pemeriksaan secara terbuka kepada para pelapor dan sidang tertutup bagi hakim konstitusi yang dilaporkan.
Berselang 2 pekan, MKMK membacakan hasil putusan pada Selasa (7/11). Hasilnya, seluruh hakim konstitusi dinyatakan melanggar etik dan disanksi teguran lisan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat dinyatakan melanggar etik karena menyampaikan hal yang merendahkan martabat MK dan disanksi teguran tertulis.
Puncaknya, Anwar Usman dinyatakan melanggar etik berat dan diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK. Ia juga tidak diperkenankan terlibat dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu dan pilkada.
BACA JUGA:Strategi Meningkatkan Kecakapan Numerasi Siswa di Setiap Mata Pelajaran