Hendrya Sylpana

Fanatisme Politik Masyarakat Indonesia

Teguh Imami; jawapos--

SEUSAI debat putaran pertama Pilpres 2024, masyarakat kita melanjutkan debatnya di ruang-ruang maya dan tongkrongan. Perdebatan itu semakin panjang karena debat perdana cawapres akan menyusul digelar pada Jumat 22 Desember 2023. Pendukung setiap calon presiden, simpatisan, masyarakat, tokoh publik, dan pengamat mengeluarkan argumentasinya untuk mendukung dan meyakinkan bahwa calon yang didukung adalah pilihan terbaik. Mereka mendebatkan gagasan, diksi, gimik, dan hal-hal unik yang terjadi selama debat.

Itu semua di luar kemungkinan bahwa banyaknya perdebatan di dunia maya tersebut digerakkan buzzer-buzzer yang memang dipasang untuk membuat heboh. Mereka memang dibayar untuk menyerang pasangan yang ditarget untuk dilemahkan. Narasi-narasi yang keluar dari setiap buzzer biasanya kedengkian, cacian, umpatan, hingga kebohongan. Masyarakat perlu waspada jangan sampai perdebatan tersebut menjadi fanatisme buta yang membuatnya menyesal.

Fanatisme masyarakat Indonesia dalam berbagai hal memang tidak perlu diragukan lagi. Dalam pilihan politik, mendukung idola, membela kesebelasan sepak bola, dan berorganisasi, selalu nomor wahid. Fanatisme tidak selalu berkonotasi negatif. Banyak juga dalam berbagai hal, justru fanatisme adalah pilihan terbaik untuk meneguhkan pilihan kebaikan. Namun, akhir-akhir ini fanatisme yang muncul adalah fanatisme yang sudah melupakan norma agama, etika, adab, bahkan melupakan dirinya sendiri.

Kita bisa melihat bagaimana, dalam konteks politik, misalnya, saking fanatiknya mendukung pasangan calon tertentu, bisa saling ejek, tuduh, hingga berujung konflik. Mudah ditemukan tudingan pendukung bayaran, ekstremis, radikal, komunis, atau antek asing/aseng. Sebaliknya, saking fanatiknya, orang yang didukung dipuja bak malaikat. Sementara kubu seberang dihina layaknya setan. Hal itu yang menjadikan setiap kontestasi politik diwarnai dinamika masyarakat yang kurang baik.

BACA JUGA:JALAN TERJAL UMKM GO EKSPOR

BACA JUGA:Strategi Meningkatkan Kecakapan Numerasi Siswa di Setiap Mata Pelajaran

Mungkin sebagian yang berkonflik itu melupakan bahwa dia butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarganya, butuh makan, dan anaknya butuh membayar SPP sekolah. Bagaimana bisa, dirinya sendiri belum selesai dengan urusan dapurnya, tapi mengurusi orang lain yang belum tentu ketika terpilih membantu biaya hidupnya?

Penyebab Intoleran

Goddard (2001) mengemukakan bahwa fanatisme adalah suatu keyakinan yang membuat seseorang buta sehingga mau melakukan segala macam hal apa pun demi mempertahankan keyakinan yang dianutnya. Senada dengan hal itu, Wolmar (2016) juga mengungkapkan bahwa fanatisme adalah suatu antusiasme pada sebuah pandangan yang bersifat fanatik di mana diwujudkan dalam intensitas emosi dan bersifat ekstrem.

Seseorang yang terlalu fanatik akan memiliki semangat yang berlebihan terhadap suatu sudut pandang dan tidak rasional terhadap suatu hal yang ada. Kecenderungan pemutlakan yang mengarah pada dogmatisasi membuat segala tindakan dinilai sebagai kebenaran mutlak sehingga segala kritik yang ditujukan pada keyakinannya adalah sesuatu yang tidak diperkenankan. Cara pandang tersebut akan menyebabkan perilaku intoleran, baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari. Sering kali dalam masyarakat kita, fanatisme itu digunakan untuk menyakiti, mendebat, dan menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan dan tentu saja melupakan dirinya sendiri.

Begitu juga yang terjadi di media sosial, fanatisme terhadap pilihan politik menjadi awal dari perdebatan yang panjang. Ada yang menyerang karakter; menghina kemampuan; memosting foto, gambar, atau meme dengan ejekan; menyerang kompetensi dengan kalimat negatif; dan mengkritisi ketidaksetujuan. Emosi yang mereka lakukan itu dianggap benar karena membela sesuatu yang dianggapnya benar pula.

Mengingat Budaya Bangsa

Di era media sosial seperti hari ini, kita sering melupakan hal yang terlihat sepele, tapi sebenarnya penting untuk dilakukan. Kita sering melupakan citra rasa bangsa Indonesia yang sebenarnya sudah membudaya dari dulu. Ki Hadjar Dewantara selalu mengingatkan bahwa pertentangan akan membuat hidup sukar. Maka, kebudayaan yang bersifat keluhuran dan kehalusan akan menjadi penyenang hidup.

BACA JUGA:Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Pengembangan Siswa Melalui Coaching

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan