Efisiensi Anggaran, Distorsi, dan Prioritas Kebijakan
Ilustrasi miskomunikasi--Shutterstock
Termasuk kebijakan yang mendasari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD 2025. Kabarnya, Presiden memeriksa secara detail satuan-satuan belanja dalam APBN, bahkan Presiden memeriksanya sampai satuan sembilan. Hingga kemudian ditemukan lemak-lemak belanja dalam APBN.
BACA JUGA:'Entrepreneurial Spirit' dan Demokrasi Ekonomi
Meski pesan Presiden sudah clear , yakni agar efisiensi dilakukan pada pos yang tidak berdampak besar pada layanan masyarakat namun toh Hasan Nasbi mengakui bahwa beberapa institusi ada yang salah menafsirkan Inpres. “Mereka tidak mengorbankan belanja lemak, tapi mereka mengorbankan layanan dasar. Itu salah tafsir,” katanya menegaskan.
Efisiensi vs PHK
Semua memang memahami bahwa saat ini Pemerintah sedang dihadapkan pada dilema besar dalam mengelola efisiensi anggaran di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Sementara Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah untuk tak menambah staf khusus (stafsus) di tengah kebijakan efisiensi anggaran. Di sisi lain, kebijakan efisiensi dikhawatirkan bisa mengakibatkan terjadinya sejumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang justru menjadi tulang punggung roda produksi.
Meski Hasan Nasbi telah membantah rumor yang beredar tentang ancaman munculnya gelombang PHK akibat kebijakan efisiensi. Sebab kata dia, bisa saja yang terjadi adalah ada karyawan yang kontrak kerjanya habis lalu tidak diperpanjang.
BACA JUGA:Elon Musk dan Memudarnya Kekuatan Daya Halus Amerika Serikat
Namun apapun itu, situasi yang berkembang saat ini menggambarkan kontradiksi yang tajam. Di saat pemerintah menuntut efektivitas, justru kebijakan yang diambil berpotensi melemahkan kapasitas kerja di tingkat operasional.
Pengangkatan staf khusus menjadi contoh konkret. Secara administratif, kehadiran staf khusus sering kali dianggap sebagai kebutuhan fungsional bagi menteri dalam menjalankan tugasnya.
Namun, pada titik tertentu, penambahan staf ini harus dibuktikan tidak menjadi beban anggaran sehingga sebanding kontribusi yang diberikannya terhadap kinerja pemerintahan.
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762) menekankan pentingnya kehendak umum (volonté générale), kesetaraan, dan keadilan dalam pemerintahan yang baik.
Baginya, pemerintahan yang ideal adalah yang mewakili kehendak rakyat dan memastikan distribusi kekayaan serta kekuasaan yang adil.
Maka sebuah pemerintahan yang baik adalah yang tidak hanya efisien dalam mengelola sumber dayanya, tetapi juga adil dalam distribusinya.
BACA JUGA:HPN 2025: Media Instan vs Fakta Jadi Tantangan Pers di Era Digital
Dalam konteks kebijakan fiskal, keadilan ini harus diterjemahkan ke dalam keputusan yang memastikan keseimbangan antara kebutuhan elite pengambil keputusan dan keberlanjutan sektor yang menjadi motor ekonomi.