Radikalisme dan Atheisme Digital Selama 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang meminta agar warga negara yang tidak beragama diakui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan -Adminduk-

Selain radikalisme digital yang cenderung "rasionalisasi" itu, di dunia nyata juga mulai ada gangguan ideologis berbentuk anti agama (ateisme) pada akhir 2024, seperti munculnya permohonan agar warga negara yang tidak beragama diakui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk).

Tidak hanya adminduk, ada pula pemohon yang meminta MK agar menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pilihan. Juga, pemohon lain yang menginginkan agar agama dan kepercayaan tidak menjadi salah satu syarat sahnya perkawinan, sesuai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Terkait UU Adminduk, dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk. Pasal 61 ayat (1) berkaitan dengan kartu keluarga (KK), sedang Pasal 64 ayat (1) perihal kartu tanda penduduk (KTP), yang keduanya memuat kolom agama atau kepercayaan.

BACA JUGA:Kesehatan Tanah untuk Swasembada Pangan Indonesia

Ketua MK Suhartoyo dalam amar Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta (3/1/2025) menolak permohonan agar data kependudukan di KK dan KTP tidak mencantumkan kolom agama atau kepercayaan, karena konsep kebebasan beragama yang dianut konstitusi Indonesia bukan kebebasan tidak memeluk agama/kepercayaan, karena UUD 1945 membentuk karakter bangsa yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Mahkamah menilai, pembatasan agama/kepercayaan tersebut merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang. Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan menyampaikan tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan, karena hal itu diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan konstitusi.

Hal yang sama juga menjadi pertimbangan MK dalam menyikapi agama dan kepercayaan sebagai syarat sah perkawinan, karena agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Bagi MK, beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan pembatasan yang proporsional dan bukan diskriminasi.

BACA JUGA:Perubahan Wajah Politik Tanpa Ambang Batas

Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara pun menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh yang dinilai tidak beralasan menurut hukum.

Untuk pendidikan agama, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Bagi Mendikdasmen Abdul Mu'ti, hal ini merupakan amanah UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, sehingga pendidikan agama bukanlah mata pelajaran pilihan, karena merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai ideologi.

Walhasil, radikalisme dan ateisme yang masuk di ruang digital agaknya menuntut perlunya kesalehan digital, karena dunia digital memiliki jebakan yang hanya bersifat rasionalisasi, padahal digitalisasi tanpa literasi hanya melahirkan kemajuan teknologi (robot), bukan kemajuan manusia yang berakhlak. Manusia yang saleh itu punya rujukan(sanad/dalil) dan tidak mudah terjebak logika palsu, seperti hoaks, hack, bullying, framing, scams, pishing, radikal digital, dan sebagainya.

Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, yang kini menjadi aktivis NU dapat dijadikan pijakan untuk menilai, yakni jika sebuah ajaran membuat pemeluknya menjadi lebih berakhlak mulia, maka ajaran itu sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT. Sebaliknya, jika ajaran itu membuat pemeluknya melakukan tindakan kriminal, melawan rang tua, atau bertindak dengan kekerasan, maka ajaran tersebut keliru. (ant)

Oleh Edy M Yakub

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan