Radikalisme dan Atheisme Digital Selama 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang meminta agar warga negara yang tidak beragama diakui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan -Adminduk-
Sepanjang tahun 2024 ada perkembangan menggembirakan dalam penanganan gerakan terorisme di Indonesia, karena gerakan Jamaah Islamiyah (JI) resmi mendeklarasikan kesetiaan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Desember 2024.
Sebelumnya, pada Juni 2024, JI secara resmi membubarkan organisasinya. Pembubaran dan deklarasi kesetiaan ini menguatkan keberhasilan pemerintah dalam meredam organisasi yang cenderung intoleran, seperti HTI dan FPI, yang juga telah dibubarkan sebelumnya.
Hal ini membuktikan bahwa terorisme berbaju agama ternyata tidak selalu harus ditangani dengan kekerasan, tetapi dapat diselesaikan melalui pendekatan cinta kasih, atau pendekatan humanis dalam istilah mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Khusus Hizbut Tahrir, mantan hizbiyyin (sebutan untuk pengikut HTI) M Ainur Rofiq Al Amin dalam bukunya berjudul "KontraNarasi Melawan Kaum Khilafers" berupaya mempertemukan narasi kaum santri atau Nahdlatul Ulama (NU) dengan narasi Khilafers (HTI).
BACA JUGA:Anggota BRICS, Babak Baru Diplomasi Ekonomi Indonesia
Narasi-narasi khilafers yang disebut mantan Hizbiyyin, saat menjadi mahasiswa Unair Surabaya itu, antara lain Negara Islam, radikal potensial, Islam moderat, NKRI bersyariah, Islam Nusantara, Khilafers timses, Pancasila dan khilafah, jihad palsu, bendera tauhid, dan sebagainya.
Begitulah aktivitas HTI yang secara kelembagaan sudah dilarang beraktivitas di Indonesia sejak tahun 2015, namun para Khilafers masih saja "beredar" di media sosial dengan propaganda yang sama, yakni Tegakkan Khilafah! Khilafah itu Solutif.
Contoh cuitan Khilafers yang menjadi trending adalah film "Jejak Khilafah di Nusantara" (JKDN) yang disebut founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, menggunakan bot untuk mendongkrak popularitas JKDN.
Bagi dosen UINSA Surabaya dari keluarga besar Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jatim, itu, dalam bukunya yang terbit pada Hari Santri 2020, argumentasinya nggak jelas, Khilafah mana yang dipromosikan, apakah Khilafah ISIS, Khilafatul Muslimin, atau HTI?
Justru Khilafah Umayyah, Abbassiyah, dan dinasti lain menunjukkan jejak berbagai perilaku pemimpin, yakni baik, adil, terdidik, urakan peminum, sadis, raja tega, nepotisme, dan pergantian kepemimpinannya berujung pada pertumpahan darah. Itulah jejak khilafah dalam sejarah.
BACA JUGA:KUR dan Jalan Panjang Menuju Efektivitas Penyaluran
Tidak hanya itu, HTI di dunia maya menyebut khilafah sebagai solusi yang lebih baik daripada demokrasi. Bahkan, HTI menyebut Turki Usmani sebagai rujukan dari khalifah dalam Islam. Sementara Indonesia dituduh sebagai negara vasal, atau negara yang berada dalam kekuasaan negara lain secara internasional. Tawaran ini juga menyalahi sejarah.
Dalam kitab "Tarikh Al-Umam wa Al Mulk" karya Abi Ja'far Muhammad bin Jarir Tabari, atau kitab "Tarikh Al-Umam wa Al Siyasah" karya Al-Imam Abi Muhammad Abdullah bin Muslim Ibn Qutaybah Al Dainuri, atau kitab "Tarikh Al Khulafa'" karya Al Hafidz Jalaluddin Al Suyuthi menyebutkan bahwa syarat menjadi imam a'dzam atau khalifah adalah harus berasal dari Suku Quraisy.
Bahkan, Imam Ghazali dalam kitabnya "Al-Iqitshad fil I'tiqad" juga menegaskan hal yang sama dengan menggunakan dalil hadits dari Imam Nasai ("Al-Imamah min Quraisy" atau khalifah itu berasal dari Quraisy) bahwa khalifah di luar pendapat itu adalah menyimpang.