10 Alasan YLBHI Sebut Jokowi Layak Disebut Pemimpin Paling Korup

Mantan Presiden Jokowi-Aris Wasita-Antara

BELITONGEKSPRES.COM - Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan pandangannya tentang Joko Widodo, menyebut bahwa presiden ke-7 Indonesia ini layak dinobatkan sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia. 

Pernyataan ini muncul setelah nama Jokowi masuk dalam daftar nominasi "Person of the Year 2024" yang dirilis oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Meski Jokowi tidak keluar sebagai pemenang, keberadaannya dalam nominasi ini menjadi perhatian tajam bagi para pengamat politik dan masyarakat luas.

Dasar Penilaian: Faktor-Faktor Utama

YLBHI tidak asal berbicara. Mereka memaparkan sepuluh faktor yang dianggap sebagai bukti bahwa Jokowi telah memimpin dengan pola yang memperburuk situasi korupsi, merusak demokrasi, dan mengancam hak asasi manusia (HAM). Mari kita telusuri lebih dalam tiap poin yang mereka ajukan.

BACA JUGA:Program Makan Bergizi Gratis Dimulai Besok, 190 Dapur Siap Beropreasi dari Aceh hingga Papua

BACA JUGA:Sistem Tilang Poin 2025: Aturan Baru yang Mengancam Pencabutan SIM, Begini Cara Kerjanya

1. Pelemahan Sistematis Terhadap KPK

Era pemerintahan Jokowi ditandai dengan perubahan mendasar pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 menempatkan lembaga ini di bawah kendali eksekutif, menghilangkan independensinya. 

Dampak langsung dari perubahan ini terlihat dengan pemberhentian 51 pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang kontroversial. Langkah ini dinilai sebagai upaya sistematis untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

2. Undang-Undang Minerba

Pengesahan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2020 disebut YLBHI sebagai langkah yang mengabaikan partisipasi publik. Selain memperpanjang kontrak tambang tanpa evaluasi yang transparan, regulasi ini berpotensi merusak lingkungan akibat eksploitasi berlebihan yang tidak terkendali.

3. Omnibus Law

Proses pengesahan Omnibus Law yang tergesa-gesa menjadi sorotan. Jokowi meminta DPR menyelesaikan undang-undang ini dalam waktu 100 hari, meskipun ada penolakan luas dari masyarakat. Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan perlu adanya revisi tidak diindahkan, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang substansinya tidak berbeda jauh.

BACA JUGA:Bawakan Buku Berjudul Revolusi, Anies Baswedan Jenguk Tom Lembong di Tahanan

BACA JUGA:Menkomdigi: Literasi Digital Kunci Atasi Judi Daring di Masyarakat

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan