Warisan Budaya Urang Darat Belitong yang Terlupakan

Ladang atau Ume Urang Darat Pulau Belitong--(Wereldmuseum Amsterdam)

Lalu Bebanjor adalah pengetahuan tradisional untuk memancing ikan hingga Nube juga merupakan cara menangkap ikan dengan menggunakan akar pohon. Urang Darat juga ahli dalam memanfaatkan serat daun nanas yang diolah menjadi tali untuk memancing dan senar alat musik gambus.

BACA JUGA:BNNK Belitung Paparkan Kinerja Sepanjang 2024, Dari Desa Bersinar Hingga Kasus Narkotika

Sahirin (65) seorang empu gambus dari Desa Lilangan, Belitung Timur bercerita bahwa kemunculan alat musik gambus berasal dari aktivitas Ume Taun. Gambus menjadi sebuah hiburan disaat beristirahat melepas penat dari aktivitas mengolah Ume. 

Europeana sebuah platform perpustakaan digital dari Eropa juga menyimpan sebuah koleksi foto, bahwa didalamnya terdapat sebuah gambar berupa gambus dengan resonator yang dilapisi kulit hewan dan senar yang terbuat dari serat daun nanas di Desa Kelubi, Belitung Timur pada tahun 1938. Arsip ini membuktikan bahwa Urang Darat dan pengetahuan tradisional mereka  benar adanya.

Saya juga berjumpa dengan Surniati (74) seorang empu gambangan dari Desa Limbongan, Belitung Timur yang membagikan kenangan kolektifnya dalam aktivitas Ume Taun. Gambangan merupakan alat musik yang awal kemunculannya saat beraktivitas di Ume Taun. 

Gambangan, alat musik berbilah yang terbuat dari kayu ini dipercaya memiliki segudang fungsi. Selain digunakan untuk menghibur diri, gambangan juga difungsikan untuk mengusir hama seperti kera dan hewan lainnya yang berpotensi merusak tanaman.

BACA JUGA:Pj Bupati Puji Konser Jazz De Billitone 2024, Dorong Musik sebagai Ikon Baru Belitung

Pada abad ke-19, tercatat dalam tulisan K.A Busu bahwa lokasi bermukim Urang Darat berada di wilayah Kawasan Linggang, Pesak, Sembuluk, Gunong Pudas, Gunong Lansat, Gunong Serumput, Gunong Medang dan Gunong Berangan. 

Posisi geografis ini berada diwilayah tengah hingga selatan Pulau Belitong. Jejak wilayah keberadaan Urang Darat yang melakukan aktivitas Ume Taun seperti yang dituliskan pada abad ke-19 tersebut, saya rasa memiliki korelasi tempat yang sama saat dimana perjumpaan saya dengan Jumidi (37). 

Jumidi merupakan generasi terakhir yang masih melakukan aktivitas Ume Taun di Kampong Aik Ruak, Belitung Timur. Namun, pada tahun 2019 merupakan aktivitas Ume Taun terakhir yang mereka lakukan di Kampongnya.

Cerita ingatan kolektif tentang kapan dimulai aktivitas Ume Taun di keluarga Jumidi dimulai dari kakeknya yang bernama Resah, lalu dilanjutkan dari generasi berikutnya yaitu Hamihan (bapak Jumidi) hingga ke generasi terakhir. 

Aktivitas Ume Taun dengan skala besar dilakukan dalam satu tahun sekali dengan jangka waktu aktivitas selama enam bulan. Ume Taun dilakukan dengan cara berpindah-pindah setelah Ngetam (panen). 

BACA JUGA:Konser Perdana Jazz De Billitone 2024: Belitung Enam Senar Pukau Ratusan Penonton

Lokasi Ume Taun yang dilakukan oleh keluarga Jumidi dimulai dari lokasi Lebong Palas Sungai Gimbal Aik Ruak lalu ke arah barat antara Gunong Culing dan Gunong Benam (Hulu aik Undan), kemudian berpindah ke Aik Bulak Simpang Berangan, Sungai Mempiuk, Sungai Lubang dan Kembali ke Lebong Palas. Lokasi ini persis berada diwilayah sekitar Gunong Berangan yang ditulis dari K.A. Busu.

Urang Darat juga mempunyai pengetahuan tradisional untuk membaca alam. Pengetahuan ini digunakan untuk melihat pertanda kapan untuk memulai aktivitas Ume Taun, yaitu dengan cara melihat posisi Bintang Ketike di sebelah Timur. Ketika Bintang Ketike sudah berada tepat di posisi tengah (sejajar dengan kepala), maka pertanda bahwa musim kemarau telah tiba.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan