Ekonom: Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Warga memilih produk saat belanja di salah satu industri ritel di Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/1/2025). Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) mengungkapkan di tahun normal sektor ritel Indonesia dapat tumb-Raisan Al Farisi/YU-ANTARA FOTO
BELITONGEKSPRES.COM - Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025, yang hanya berlaku untuk barang mewah, dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.
Ia mencatat bahwa meskipun saat ini harga barang telah meningkat akibat keterlambatan penerbitan peraturan Menteri Keuangan (PMK), keputusan ini tetap menguntungkan.
Bhima menyatakan bahwa pemerintah harus memperhatikan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Ia berpendapat bahwa langkah selanjutnya seharusnya adalah menurunkan tarif PPN menjadi 8 persen setelah pembatalan rencana kenaikan PPN untuk barang dan jasa umum.
Menurutnya, pemerintah memiliki berbagai pilihan untuk mengimbangi penerimaan PPN yang tidak jadi meningkat. Salah satu opsi adalah mengenakan pajak kekayaan bagi individu dengan total harta yang sangat tinggi, yang diperkirakan dapat menghasilkan sekitar Rp81,6 triliun saat pertama kali diterapkan.
BACA JUGA:Apindo: Kolaborasi Pemerintah dan Pengusaha Dibutuhkan untuk Merancang Aturan PPN
BACA JUGA:Presiden Prabowo Setujui Bantuan Beras 10 Kilogram untuk 6 Bulan di 2025
Ia menekankan bahwa pajak tersebut tidak sama dengan pajak penghasilan, melainkan pajak atas harta yang belum diterapkan di Indonesia. Bhima juga menyebut bahwa organisasi internasional seperti OECD dan G20 mendukung pengenalan pajak kekayaan.
Opsi lainnya termasuk penerapan pajak karbon, yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Bhima menjelaskan bahwa pemerintah hanya perlu menerbitkan PMK untuk memulai penerapan pajak karbon tersebut, terutama pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Pendapatan dari pajak ini dapat digunakan untuk mendanai energi terbarukan yang juga dapat menciptakan lapangan kerja.
Bhima menambahkan bahwa pajak produksi batu bara bisa dikenakan di luar royalti yang lebih tinggi, dan ada baiknya pemerintah menutup kebocoran pajak di sektor kelapa sawit dan tambang. Dia juga menyarankan agar pemerintah mengevaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, seperti tax holiday untuk perusahaan smelter nikel yang sudah memiliki laba besar.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah, seperti rumah dan apartemen dengan harga di atas Rp30 miliar, pesawat pribadi, kapal pesiar, dan kendaraan bermotor mewah.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Tegaskan APBN 2024 Berhasil Dikelola dengan Penuh Kehati-Hatian
BACA JUGA:Bulog Berhasil Salurkan Lebih dari 3,8 Juta Ton Beras Selama 2024
Untuk barang dan jasa di luar kategori ini, tarif PPN tetap 11 persen, dan bahan pokok akan dibebaskan dari PPN. Seluruh paket stimulus ekonomi dan insentif perpajakan yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 16 Desember 2024 juga akan tetap berlaku. (ant)