Mengungkap Penyebab PHK Massal dan Upaya Pencegahannya

Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat 28 Februari 2025--(ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc)

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM – Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin hangat diperbincangkan belakangan ini, terutama setelah terjadi di PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan PT Sanken Indonesia.

PT Sritex, sebagai pabrik tekstil terbesar di Indonesia, tercatat telah merumahkan lebih dari 10 ribu karyawan. Sementara itu, PT Sanken Indonesia juga melakukan PHK terhadap lebih dari 450 pekerjanya.

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan setelah Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) mengungkap bahwa dalam periode Januari 2023 hingga Januari 2025, sebanyak 62 pabrik terpaksa menghentikan operasionalnya dan memberhentikan ribuan tenaga kerja.

Kondisi ini memicu kekhawatiran akan melemahnya industri manufaktur nasional dan turunnya daya beli masyarakat. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, PHK tidak selalu disebabkan oleh situasi ekonomi semata. 

Faktor lain seperti kesalahan strategi manajemen, perubahan arah bisnis yang lebih mendekatkan produksi ke pasar ekspor, hingga keterlambatan industri dalam beradaptasi dengan teknologi juga berkontribusi pada gelombang PHK.

BACA JUGA:Antisipasi PHK Sebagai Kode Merah Industri Tekstil dan Garmen Nasional

Seperti yang terjadi pada PT Sanken Indonesia. Pemerintah menegaskan bahwa penutupan pabrik yang berlokasi di kawasan MM2100 Cikarang, Bekasi, bukan disebabkan oleh kondisi bisnis di Indonesia, melainkan karena kebijakan induk perusahaannya di Jepang yang mengubah fokus produksi ke sektor semikonduktor.

Penyebab PHK seperti yang terjadi di Sritex bukan semata karena iklim usaha yang kurang kondusif, melainkan akibat beban utang perusahaan yang mencapai lebih dari Rp25 triliun. Ketidakmampuan membayar utang tersebut membuat Sritex dinyatakan pailit.

Sementara itu, penutupan 62 perusahaan tekstil dalam dua tahun terakhir disebabkan oleh tingginya arus masuk barang impor yang membanjiri pasar domestik, sehingga melemahkan daya saing industri tekstil lokal.

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa sektor manufaktur masih menunjukkan pertumbuhan positif. Bahkan, jumlah tenaga kerja baru yang terserap lebih besar dibandingkan angka PHK.

Rasio penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur juga terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada tahun 2024, sektor perindustrian nasional yang baru mulai beroperasi berhasil menyerap 1.082.998 tenaga kerja. Angka ini lebih tinggi dibandingkan jumlah PHK yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam periode yang sama.

BACA JUGA:Nasib RI di Pusaran Perang Tarif AS-China

Penyebab PHK seperti yang terjadi di Sritex bukan hanya dipicu oleh kondisi usaha yang kurang kondusif, tetapi juga karena beban utang perusahaan yang mencapai lebih dari Rp25 triliun. Ketidakmampuan melunasi utang tersebut akhirnya membuat Sritex dinyatakan pailit.

Sementara itu, penutupan 62 perusahaan tekstil dalam dua tahun terakhir didorong oleh maraknya impor barang tekstil yang membanjiri pasar domestik, sehingga melemahkan daya saing industri dalam negeri.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan