Yusril Sebut KUHP Baru 2026 Lebih Sejalan dengan Filosofi Hukum di Masyarakat

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan sambutan pada puncak Peringatan Hari HAM Sedunia ke-76 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa (10/12/2024). Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mempering-Asprilla Dwi Adha/aww.-ANTARA FOTO

BELITONGEKSPRES.COM - Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menekankan pentingnya semangat dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang direncanakan untuk diimplementasikan pada tahun 2026. Ia berpendapat bahwa KUHP baru ini lebih sejalan dengan filosofi hukum yang hidup di masyarakat saat ini.

Yusril menggarisbawahi komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reformasi hukum dan hak asasi manusia (HAM), yang mencakup perubahan tidak hanya pada norma hukum, tetapi juga pada aparat penegak hukum serta infrastruktur pendukungnya.

"Presiden menekankan bahwa hukum dan HAM harus diperbarui untuk menjawab kebutuhan masyarakat," ujarnya saat konferensi pers di Jakarta.

Menurut Yusril, dengan penerapan KUHP baru, Indonesia akan melepaskan diri dari belenggu KUHP warisan kolonial Belanda yang telah lama berlaku. 

BACA JUGA:Kemenkomdigi Ikut Rancang Kurikulum Koding untuk Sekolah Dasar dan Menengah

BACA JUGA:Menteri PANRB Terbitkan Aturan Baru, Pengelolaan Konflik Kepentingan untuk ASN

Ia menjelaskan bahwa karakteristik dari KUHP baru ini adalah pendekatan yang lebih manusiawi, berfokus pada keadilan restoratif dan rehabilitasi, bukan sekadar penghukuman.

"Saya percaya bahwa semangat KUHP baru ini lebih harmonis dengan nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat, termasuk hukum adat dan hukum Islam," tuturnya. Ia juga mencatat bahwa masih terdapat kesalahpahaman mengenai hukum pidana Islam, yang sering dianggap keras dan tidak manusiawi. Padahal, hukum Islam mengedepankan dialog dan kesepakatan.

"Dalam hukum pidana Islam, misalnya, pelaku pembunuhan diharuskan untuk berdiskusi dengan keluarga korban. Mereka dapat memilih untuk memaafkan, meminta ganti rugi, atau bahkan meminta hukuman mati," jelas Yusril. 

Ia menekankan bahwa keputusan untuk meminta hukuman mati datang dari keluarga korban, bukan dari jaksa, karena mereka yang paling merasakan dampak dari tindakan tersebut.

Dengan perubahan ini, Yusril berharap bahwa KUHP baru akan menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap nilai-nilai masyarakat Indonesia. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan