Jakarta - Sepertinya kita perlu memikirkan kembali asupan makanan yang diberikan kepada anak. Jangan hanya sekadar kenyang atau ingin serba praktis, lalu memberikan asupan makanan rendah gizi bahkan nir-gizi kepada anak.
Masalah gizi terlihat sepele dan tidak dirasakan dampaknya secara langsung, tapi memiliki dampak jangka panjang tidak hanya pada individu tersebut. Lebih dari itu memiliki dampak pada masa depan bangsa.
Laporan World Population Review pada 2023 menyebutkan rerata tingkat kecerdasan orang Indonesia berasa pada angka 78,49 atau menempati peringkat 126 dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat paling buncit dibandingkan negara lainnya bersama dengan Timor Leste. Tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia bahkan lebih rendah dengan skor IQ rata-rata 99,75. Dengan kondisi seperti itu, apakah mungkin Indonesia Emas 2045 dapat tercapai?
Banyak sebab, mengapa tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia rendah. Selain faktor genetik, gizi berperan penting dalam membentuk kecerdasan seorang anak. Gangguan tumbuh kembang anak yang berlangsung dalam waktu lama atau stunting dalam jangka panjang turut memengaruhi kecerdasan kognitif.
BACA JUGA:Perjuangan Guru di Bondowoso Merayu Siswanya Kembali ke Sekolah
BACA JUGA:Merayakan perbedaan Pada Pemilu 2024
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 menyebutkan prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen. Meski mengalami penurunan yang konsisten dalam 3 tahun terakhir, jumlah tersebut masih berada di atas standar WHO.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Endang L. Achadi, mengatakan stunting memang tidak secara langsung membuat seorang anak mengalami risiko kurang cerdas. Risiko tersebut baru dirasakan saat anak berada di jenjang sekolah.
Oleh karenanya, mencegah stunting sama halnya dengan menyelamatkan bangsa. Anak yang terpenuhi kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupannya (HPK), maka akan tumbuh dengan fungsi organ dan sistem tubuh yang optimal. Dalam jangka panjang anak menghasilkan anak bangsa yang berkualitas yakni cerdas, tidak mengalami penyakit tidak menular, dan tidak pendek.
Sementara anak yang mengalami stunting dalam periode kehamilan hingga berusia 2 tahun dalam kehidupannya, berisiko kurang cerdas, rentan mengidap penyakit tidak menular, dan tinggi badannya lebih pendek jika dibandingkan usianya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, perbaikan gizi masyarakat masuk ke dalam salah satu prioritas nasional, di antaranya percepatan penurunan stunting, peningkatan jaminan asupan gizi makro dan mikro terutama pada ibu hamil dan anak dengan usia di bawah 2 tahun, dan penguatan advokasi, komunikasi sosial dan perubahan perilaku hidup sehat.
Namun pertanyaannya selepas 2024 dan bergantinya tampuk kepemimpinan di negeri ini, apakah fokus akan perbaikan gizi masyarakat khususnya anak, akan menjadi perhatian utama?
BACA JUGA:Ibu Sehat & Bahagia Menyusui, Anak Terpenuhi Nilai Gizi
BACA JUGA:Menjadi Pelajar Pancasila yang Kepo Itu Harus!
Berbeda dengan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia harus diakui belumlah populer. Itu sebabnya para politikus lebih menjanjikan sesuatu yang sifatnya jangka pendek dibandingkan jangka panjang. Alih-alih menjanjikan kemudahan akses pendidikan misalnya, politikus lebih senang menjanjikan pembangunan infrastruktur yang bisa terlihat dan dirasakan begitu proyeknya selesai. Tapi pembangunan SDM? Mungkin perlu waktu berpuluh-puluh tahun.