Selama ini, peringatan Hari Guru sering kali difokuskan pada kesejahteraan guru meskipun saat sekarang kesejahteraannya makin meningkat. Akan tetapi pertanyaannya, apakah meningkatnya kesejahteraan tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas diri dalam konteks sebagai seorang guru yang harus mendidik orang.
BACA JUGA:Menyeimbangkan Bandul Geopolitik dengan Diplomasi
Jika kesejahteraannya naik namun kemudian pola pikir dan mentalitas belajarnya tidak tumbuh dan berkembang, hal itu menjadi persoalan serius bagi masa depan Indonesia. Oleh karena itu, Fauzi menilai hal tersebut harus menjadi kritik semua pihak dalam merespons perkembangan masa depan pendidikan di Indonesia.
Karena proses pendidikan pada dasarnya membangun peradaban bangsa, pakar pendidikan Darmaningtyas menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengantisipasi masa depan dalam jangka yang panjang, tidak hanya yang saat ini, apalagi masa lalu.
Konsekuensinya, para pendidik harus senantiasa memutakhirkan kecakapan dan ilmu pengetahuannya, agar terhubung dengan kebutuhan masa depan.
Persoalan hukum
Di sisi lain, sering ditemukan ada guru yang tersandung persoalan hukum, baik yang disebabkan oleh perilakunya yang menyimpang maupun "dipaksakan" berhadapan dengan hukum karena mendisiplinkan peserta didik.
BACA JUGA:Mempercepat Transformasi Layanan Publik Melalui Digitalisasi
Terkait dengan guru yang menghadapi persoalan hukum atas perilaku yang menyimpang dari etika, norma, dan peraturan perundang-undangan lainnya, hal itu merupakan tugas semua pihak karena mungkin ada guru yang memang belum paham tentang hukum sehingga perlu adanya pencerahan mengenai hal tersebut.
Yang tidak kalah penting adalah persoalan moralitas atau akhlak harus dikuatkan. Dari empat kompetensi guru, selama ini yang paling sering disentuh hanya pedagogik dan profesional, sedangkan kepribadian dan sosial jarang disentuh.
Dalam kenyataan, sebagian guru yang menyimpang perilakunya dengan melanggar etika sosial, etika agama, serta etika hidup berbangsa dan bernegara. Hal itu bisa saja terjadi karena kompetensi kepribadian kurang mendapat prioritas di dalam penguatannya sehingga lahir perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan identitas seorang guru yang harus digugu lan ditiru.
Oleh karena itu harus memosisikan ulang kompetensi kepribadian yang selama ini kurang dominan dalam wacana-wacana peningkatan kompetensi guru karena lebih cenderung pada masalah pedagogik dan profesional.
Sementara untuk guru yang terjerat permasalahan hukum karena mendisiplinkan peserta didik, hal itu dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, guru sebenarnya bertujuan baik agar peserta didiknya tertib sehingga melakukan sesuatu untuk mendisplinkan muridnya.
BACA JUGA:Mengajak Anak Muda Melek Digital Mengawal Pilkada
Akan tetapi, guru juga harus paham bahwa tujuan yang baik harus diimbangi dengan cara yang baik dan benar.
Di samping mempunyai pemahaman tentang target, guru juga harus paham tentang strategi, bagaimana caranya agar peserta didiknya disiplin dan tertib tetapi tidak menyalahi aturan serta tidak menimbulkan kekerasan. Dalam dunia pendidikan, kekerasan tidak boleh terjadi dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun.
Banyak cara, teori, dan strategi yang dapat dilakukan guru untuk mendisiplinkan peserta didik tanpa harus melakukan kekerasan. Bahkan, banyak sekolah yang berhasil mendisiplinkan muridnya tanpa harus ada korban kekerasan, baik fisik maupun mental, sehingga hal itu harus dipahami oleh para guru.