INDONESIA ialah salah satu mosaik budaya dunia, yakni tempat berbagai perbedaan menyatu dalam keharmonisan yang tak jarang menimbulkan gesekan hingga pertikaian. Konflik antarbudaya seperti yang terjadi di Kalimantan tahun 2000-an, yaitu antara suku Dayak dan suku Madura, menunjukkan bagaimana perbedaan memantik pertikaian besar dengan korban yang tidak sedikit.
Berbagai konflik menjadi pelajaran bahwa membangun toleransi dan harmonisasi sosial membutuhkan upaya kolektif dan pendekatan lintas budaya. Di panggung dunia, ketegangan dan konflik antara komunitas Muslim dan Yahudi di Yerusalem, atau protes sosial yang terjadi melibatkan imigran Afrika di Prancis, menegaskan bahwa perbedaan sangat berpotensi menjadi ladang pertentangan, bahkan berkepanjangan.
Ketika seseorang berhadapan dengan latar budaya yang berbeda, peluang adanya benturan nilai, keyakinan, atau cara komunikasi, ialah konsekuensi logis dari adanya keberagaman. Misalnya, seseorang dari budaya individualis seperti Amerika Serikat akan menganggap langsung pada inti pembicaraan itu adalah perihal yang wajar.
Sementara bagi orang lain dengan budaya kolektivis seperti Jepang, hal itu bisa dianggap kasar. Edward T. Hall (1976), dalam teorinya tentang high-context dan low-context communication, menekankan pentingnya memahami konteks budaya agar dapat menghindari kesalahpahaman ini.
Penulis mengalami sendiri perbedaan dan indikasi percikan benturan ketika mengikuti program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024. Namun, ketika membahas tentang materi “Dealing with Conflict”, para peserta dari berbagai negara memahami mengapa perbedaan dan konflik bisa terjadi.
BACA JUGA:Transformasi Pendidikan Melalui Kurikulum Merdeka
Dalam salah satu sesi program ini, kami diminta untuk mempraktikkan diskusi lintas budaya, yang mana kami harus bekerja sama dalam kelompok yang anggotanya berasal dari berbagai negara. Penulis ingat betapa sulitnya memahami perbedaan aksen dari tiap negara, walaupun mereka menggunakan bahasa Inggris. Karena hal ini akan memicu kesalahan interpretasi, termasuk dalam menyikapi lebih lanjut informasi yang diterima.
Tentang Konflik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik merupakan percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik ini berasal dari kata kerja atau bahasa latin "configere", yang artinya saling memukul.
Secara sederhana, konflik diartikan pertikaian atau pertentangan. Konflik ini merupakan manifestasi ketidaksesuaian antara 2 pihak atau lebih karena perbedaan-perbedaan yang ada. Berbagai perbedaan ini antara lain bisa karena perbedaan pendapat, perbedaan kepribadian, perbedaan tujuan, perbedaan nilai, perbedaan kebutuhan, hingga perbedaan kebudayaan.
Menurut John Galtung (1996), konflik bukan hanya tentang perbedaan pendapat, tetapi juga tentang persepsi yang salah atau ketidakadilan dalam alokasi sumber daya. Konflik dapat menjadi destruktif jika tidak dikelola, tetapi juga bisa menjadi konstruktif jika ditangani dengan baik. Misalnya dalam dialog atau diskusi.
Lewis A. Coser (dalam kumparan.com, 2023) menyimpulkan bahwa konflik ialah proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan tatanan atau struktur masyarakat.
Konflik ini bisa menempatkan dan menjaga garis batas antara 2 kelompok atau lebih. Menurut Coser, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak melebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya.
BACA JUGA:Urgensi Peningkatan Literasi Dasar di Indonesia
Gaya Konflik Hammer