Oleh karena itu, Pemerintah maupun industri perlu lebih tanggap dan adaptif dalam menghadapi dinamika ekonomi dunia. Semua pihak, mulai dari negara maju, lembaga keuangan, hingga investor harus berkolaborasi untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih melalui investasi, transfer teknologi, dan akses ke pasar global.
Senada, Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menyatakan bahwa transisi energi adalah proses yang rumit dan membutuhkan waktu.
Oleh sebab itu, diperlukan kolaborasi global yang kuat dan investasi dari negara-negara dalam teknologi dan penelitian, pengembangan infrastruktur energi yang berkelanjutan, serta penguatan kapasitas sumber daya manusia.
“Untuk mengatasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, kita memerlukan pendekatan kolaboratif antara negara maju dan negara berkembang, tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan. Kolaborasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan,” kata Rachmat.
Tanpa kolaborasi dan investasi dari negara-negara maju, dunia tidak akan mencapai skala perubahan yang dibutuhkan dalam mengatasi perubahan iklim.
BACA JUGA:Menciptakan Pekerjaan Layak untuk Semua
Transisi sesungguhnya bukan sekadar peluang untuk mengurangi perubahan iklim, melainkan kesempatan untuk mengamankan energi yang terjangkau dan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan salah satunya.
Perdagangan listrik
Salah satu kerja sama yang telah dicapai Indonesia dalam mendukung transisi energi adalah perdagangan listrik hijau dan interkoneksi listrik Indonesia dan Singapura.
Kemitraan tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara kedua pemerintahan pada acara ISF tahun lalu. Kerja sama tersebut mencakup di antaranya dukungan Singapura dalam pengembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia, seperti produksi panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai (BESS).
Dalam acara ISF 2024, Singapura mengumumkan akan menambah kuota impor listrik rendah karbon dari Indonesia, dari semula 2 GW menjadi 3,4 GW. Ada lima perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan bersyarat (conditional approval) dari Energy Market Authority (EMA) Singapura untuk melakukan ekspor listrik ke Singapura. Diperkirakan proses transmisi listrik ke Singapura akan dimulai pada 2028.
BACA JUGA:Artificial Intelligence dan Tantangan Jurnalistik Masa Kini
Dalam acara tersebut, EMA telah memberikan persetujuan bersyarat kepada dua perusahaan lain, yakni Total Energies dan Royal Golden Eagle (RGE). Mereka telah membentuk perusahaan patungan Singa Renewables Pte Ltd (Singa) untuk mengimpor 1 GW listrik energi surya dari Indonesia ke Singapura.
Singa juga akan memasok energi surya ke kompleks industri hijau di Provinsi Riau guna mendukung capaian target bauran energi Indonesia.
Senior Vice President Renewables Total Energies, Olivier Jouny, mengatakan bahwa proyek ini merupakan bagian dari upaya menyediakan listrik bersih dan berkelanjutan, yang menggabungkan teknologi tenaga surya dan sistem penyimpanan baterai.
Global Head of Renewable Energy RGE, William Goh, menyatakan bahwa proyek ini merupakan win-win solution bagi Indonesia dan Singapura. Proyek ini diyakini dapat membantu kedua negara mengurangi emisi karbon dan mencapai target energi bersih. Selain itu, proyek ini juga akan mendorong pengembangan industri energi surya di Indonesia serta menciptakan lapangan kerja baru.