Tema kali ini memang berbeda dibandingkan tahun lalu, karena kami GSM memandang persoalan kekerasan, perundungan, dan kesehatan mental sebagai bagian dari persoalan yang lebih besar, yakni hilangnya budaya dan perangai ilmiah pada masyarakat
sehingga mudah terjebak dan terpolarisasi oleh berita-berita negatif, berita bohong, dan sentimen yang berlebihan yang berdampak pada munculnya friksi, ketegangan hingga kekerasan.
BACA JUGA:Upaya Pemerintah Memacu Ekonomi Digital Menjadi Negara Maju
BACA JUGA:Menyimpan Emas Pilihan Strategis bagi Entitas Bisnis
Ruang ketiga
Dengan terpatrinya budaya perangai ilmiah, setiap siswa diharapkan mampu memiliki filter pribadi dan dapat terus berpikir dan bersikap skeptis terhadap informasi baru. Ruang ketiga yang dimaksud adalah ruang interaksi yang setara untuk menemukan kesadaran diri dan keunikan potensi insan didik.
Ruang ketiga sendiri terdiri atas lima jenis ruang. Pertama, ada “Ruang Dialog dan Refleksi” yang membuka kesempatan bagi pihak-pihak untuk saling melakukan tanya-jawab, berpikir dan memaknai. Kedua, ada “Ruang Relaksasi dan Meditasi” untuk memusatkan pikiran dalam ketenangan. Ketiga, ada “Ruang Imajinasi dan Ekspresi”, yaitu ruang untuk daya pikir berangan-angan dan mengekspresikannya secara fisik maupun nonfisik.
Berikutnya, ada “Ruang Solidaritas dan Persaudaraan”, yaitu ruang untuk membangun kepercayaan, kasih sayang, dan saling menghargai. Terakhir, terdapat “Ruang Berkarya dan Kebermaknaan”, yaitu ruang untuk memberi arti penting dalam kehidupan. Ruang ketiga dapat menjadi bersama bagi pemangku kepentingan, kepala sekolah, guru serta murid dan orang tua serta masyarakat untuk bersinergi menciptakan ruang pembelajaran yang melampaui sekat-sekat kelas dan mata pelajaran.
Hasilnya, siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran mereka dan di masyarakat seraya mengembangkan literasi yang penting serta dapat menjadi versi terbaik bagi dirinya.
BACA JUGA:Gibran, dari Solo untuk Indonesia
BACA JUGA:Penembakan Donald Trump Jadi Alarm Demokrasi Indonesia
Ruang ketiga dinilai cocok untuk diterapkan pada masa MPLS karena anak-anak cenderung membutuhkan perasaan diterima dan dianggap menjadi anggota baru secara hangat. Pemilihan dialog intensif sebagai mata acara juga mampu menghilangkan sisi monoton dari kegiatan penyambutan siswa baru.
MPLS dapat menjadi momen kebahagiaan bagi sivitas sekolah layaknya momen kelahiran yang ditunggu-tunggu dan dinantikan, tumbuh menjadi manusia dewasa yang unik dan berdaya.
Guru kelas IV dari UPTD SDN Rawabuntu 03, Eni Arumita, mengatakan penerapan ruang ketiga melalui MPLS mampu menciptakan budaya dialog yang setara dan bermakna, tidak hanya antara guru dan murid, tapi juga relasi dengan orang tua siswa.
Dampak yang terasa, sekolah tidak hanya menjadi rumah bagi murid dan juga guru, tapi juga rumah bagi orang tua. Pendidikan bukan sekadar menjadi tanggung jawab guru, melainkan merupakan tanggung jawab bersama. Melalui penanaman budaya saintifik dan perangai ilmiah, Indonesia Emas dapat terwujud. (ant)
Oleh Indriani