JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Indonesia mencatat tingkat deflasi sebesar 0,08% (mtm) atau mencapai 2,51% (yoy) pada bulan Mei dan Juni 2024, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks Harga Konsumen (IHK) turun signifikan sebesar 0,08% pada Juni 2024 dibandingkan bulan sebelumnya.
Ekonom Teguh Dartanto menyebutkan bahwa deflasi ini merupakan indikasi bahwa ekonomi Indonesia tengah mengalami kelesuan, terutama ketika daya beli masyarakat juga sedang menurun.
"Deflasi yang sudah berlangsung selama dua bulan ini bisa jadi sinyal permintaan barang dan jasa masyarakat menurun," kata Teguh dalam keterangan tertulis resminya pada Selasa, 2 Juli 2024.
Pendapat serupa disampaikan oleh Ekonom BCA, Barra Kukuh Mamia. Menurutnya, deflasi dua bulan berturut-turut ini sangat jarang terjadi. Dalam 10 tahun terakhir, hanya terjadi satu kali deflasi yaitu pada Juni 2021.
BACA JUGA:Menkopolhukam: Presiden Instruksikan Pemulihan Layanan Publik Juli 2024
BACA JUGA:Suzuki Sedang Persiapkan untuk Merilis Jimny dalam Varian Pickup
"Deflasi bulan Juni ini memang disebabkan oleh melandainya harga komoditas pangan dan normalisasi setelah puasa. Tapi, daya beli masyarakat terutama kelas bawah juga sudah melemah," jelas Barra.
Deflasi bulanan ini sebagian besar didorong oleh penurunan harga komoditas makanan pasca hari raya Lebaran, dengan deflasi 0,98% (mom) pada Juni 2024 dari deflasi 0,69% (mom) pada Mei 2024. Dengan penghasilan yang tidak naik, masyarakat cenderung mengurangi pembelian, sehingga permintaan melambat dan harga turun.
Menurut Ekonom UI, Ninasapti Triaswati, tren suku bunga tinggi saat ini juga memberikan tekanan kepada sektor usaha, yang menjadi alasan terhambatnya investasi.
"Karena secara global Amerika masih menahan suku bunga tinggi. Ini artinya investasi akan terhambat, jadi akan memberi tekanan kepada pengusaha dan bisa dilihat dari beberapa kebijakan yang juga tidak terlalu baik kepada pengusaha," kata Ninasapti dalam keterangannya. (dis)