Sekarang, kecenderungan praktik demokrasi di Indonesia mengarah pada sistem demokrasi liberal, mengakibatkan kelompok kritis nonpemerintah sering menyampaikan kritik asal beda, bukan kritik yang membangun untuk mencari solusi. Padahal menurut hasil penelitian di Inggris, misalnya, pemerintah dan oposisi mempunyai tujuan yang sama, walaupun strategi dan programnya bisa berbeda. Itu sebabnya ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia II, demi kemenangan Inggris, pemerintah dan oposisi bersatu.
Oleh karena itu, oposisi yang sehat adalah yang argumentasinya selalu mendasarkan pada data dan fakta.
BACA JUGA:Strategi Pengelolaan Tambang Pasca Terbitnya WIUPK untuk Ormas
Menariknya, antara pemerintah dan opoisisi berusaha memecahkan masalah di masyarakat dengan metode yang berbeda. Adu argumen dan data inilah yang membawa pada kedewasaan berdemokrasi.
Konsep ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem kekeluargaan. Permusyawaratan dan demokrasi di Indonesia, jika sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan lebih mantap, karena merupakan intisari dari peradaban yang ada di negeri ini.
Berkaitan dengan itu, hakikat musyawarah dapat disisir kembali melalui pergulatan pemikiran Soekarno, sebagaimana disampaikan pada Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945. Berikut rangkaian penjelasan Soekarno dalam berbagai kesempatan, seperti kursus Pancasila, kita akan mudah menyepakati bahwa secara metodologis, sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan bahkan, masing-masing sila dalam Pancasila merupakan hasil dari proses yang bersifat induktif.
Dalam proses itu, praktik-praktik empiris bermusyawarah yang berlangsung lama dan ditemukan luas dalam masyarakat Indonesia dengan setting yang berbeda-beda menjadi referensi dasar.
BACA JUGA:Revitalisasi Organisasi Mahasiswa di Era Gen Z: Tantangan dan Solusi Menuju Masa Depan Berkelanjutan
Musyawarah juga disebut tradisi berembuk merupakan sistem tradisional dari dialog timbal balik, konsultasi, permusyawaratan, dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan.
Dengan demikian, musyawarah merupakan abstraksi dari pengalaman empiris masyarakat Indonesia, bukan premis yang diterjemahkan secara deduksi dari dunia ide.
Soekarno menegaskan Pancasila dan juga musyawarah dia gali dari bumi Indonesia, bukan berasal dari dirinya. Setiap sila inheren dalam masyarakat Indonesia, bukan sesuatu yang diperkenalkan dari atas.
Agar dimensi operasional demokrasi di Indonesia tidak terjebak menjadi elitis/oligarkis, maka nilai dasar Pancasila niscaya dijalin dengan prinsip dasar demokrasi.
Dengan demikian, harmoni sebagai nilai dasar Pancasila yang di dalamnya juga terkandung nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, serta kebersamaan niscaya dijalin dengan kedaulatan rakyat dan partisipasi warga negara secara berkelanjutan sebagai prinsip dasar demokrasi.
BACA JUGA:Menyingkap Masa Depan Dunia Kesehatan dengan Informatika dan Big Data
Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya, tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar†semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila.