Hendrya Sylpana

Gus Dur dan puncak intelektualitas NU

Putri almarhum Gus Dur, Inayah Wahid memberikan sambutan saat peringatan haul ke-14 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jl. Warung Silah, Ciganjur, Jakarta, Sabtu (16/12/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.--

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi yang tumbuh dalam tradisi Indonesia yang puritan diakui atau tidak mengalami puncak intelektualitas di masa kepemimpinan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pada akhir 1980-an hingga 1990-an. Di bawah kepemimpinannya, NU tidak hanya menguatkan tradisi keagamaan, tetapi juga terlibat aktif dalam isu-isu sosial, politik, dan pendidikan, serta mendorong pemikiran yang progresif dalam Islam.

Untuk menguatkan pandangan ini, ada beberapa indikator penting sebagai alasan.

Pertama, reformasi pemikiran. Sebagai intelektual yang berpikir independen, Gus Dur memperkenalkan pemikiran yang lebih liberal dan terbuka, mendorong diskusi tentang isu-isu kontemporer, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.

Reformasi pemikiran ini ternyata mampu menstimulasi anak-anak muda NU bergerak ke tengah dan ikut terlibat pada wacana-wacana besar kebangsaan yang lebih populis. Padahal, jauh sebelum Gus Dur memimpin NU, mereka yang hidup dalam tradisi sarungan ini tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk bicara hal-hal yang cenderung profan itu.

BACA JUGA:Menggapai Kesembuhan Penglihatan Lewat Operasi Katarak Gratis Kemensos

Keberanian Gus Dur untuk menerobos kebekuan berpikir itu juga dipicu oleh kekesalan dirinya melihat realitas anak muda NU yang enggan terlibat pada isu-isu besar kebangsaan Indonesia.

Gus Dur menyampaikan teguran keras pada Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang diadakan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya kualitas dan kemampuan, serta menyindir anak-anak PMII yang kalah jauh dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam berbagai aspek. Pidato ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah organisasi mahasiswa di Indonesia.

Kedua, keterlibatan sosial. Gus Dur dinilai banyak kalangan sangat aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak minoritas. Ia berhasil menjadikan NU sebagai suara bagi kaum tertindas dan mendorong anggotanya untuk berkontribusi di masyarakat. Tradisi terlibat dalam menyuarakan suara keadilan ini masih terpelihara dalam berbagai kegiatan lembaga "Wahid Institute", yang kini dikomandani puterinya, Yenny Wahid.

Ketiga, pendidikan dan kaderisasi. Gus Dur mendorong peningkatan kualitas pendidikan di pesantren dan lembaga NU, serta membentuk kader-kader yang cerdas dan kritis, yang memperkuat basis intelektual NU. Di zaman Gus Dur, tindakan kongkret dari gerakan pendidikan NU ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Puncak intelektualitas NU dalam artian pelembagaan kaderisasi yang formal adalah dengan pendirian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) pada saat NU di bawah kepemimpinan K.H. Said Agil Siradj.

BACA JUGA:APBN 2025 Berdayakan Indonesia Keluar dari 'Middle Income Trap'

Di saat Kiai Said-lah, NU semarak mendirikan kampus-kampus modern, sebagaimana layaknya Muhammadiyah. Sayangnya, pelanjut Kiai Said, tidak terlihat memiliki ghirah yang sama untuk meningkatkan dan memperluas sebaran kampus UNU di Indonesia. Kondisi ini tentu sangat disayangkan sebab kemajuan warga Nadhliyin itu menjadi kunci kemajuan bangsa Indonesia.

Keempat, dialog antaragama. Gus Dur juga mengedepankan pentingnya dialog antaragama, mengurangi ketegangan sosial dan membangun kesadaran akan keberagaman dalam masyarakat Indonesia. Di mata Gus Dur, dialog antaragama akan menghilangkan syak wasangka di antara sesama anak bangsa. Mendialogkan sesuatu yang semula tabu adalah penting dalam konteks mendewasakan anak-anak bangsa yang kebetulan berbeda agama.

Melalui empat hal tersebut ternyata Gus Dur berhasil mengangkat intelektualitas NU ke level yang lebih tinggi, menjadikannya sebagai lembaga yang relevan dan progresif.

Masuk lingkungan global

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan