BACA JUGA:Pengamalan Pancasila dalam Budaya Digital
Selain pengusaha, sejumlah pekerja swasta dan BUMN juga menilai program Tapera hanya akan menjadi beban baru dalam kehidupan mereka. Karyawan perusahaan BUMN di Jakarta, Eko (37), tak habis pikir karena pemerintah lagi-lagi membebani rakyatnya dengan potongan-potongan wajib selain pajak.
Lagi pula, Eko mengaku tak berniat membeli rumah dengan KPR, sehingga menurutnya kebijakan Tapera hanya akan menjadi program yang membebani, tak hanya bagi dirinya, tetapi juga para pekerja lain yang sudah memiliki rumah dan menjalankan KPR.
“Kalau sifatnya tidak wajib melainkan sukarela mungkin bisa maklum. Masyarakat tidak akan menolak semasif ini,” kata Eko.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai iuran Tapera belum tentu efektif mengatasi kekurangan perumahan di Indonesia.
Menurut Huda, tujuan PP 21/2024 pun masih belum jelas antara investasi atau arisan kepemilikan rumah. Selain itu, manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera akan sangat minim. Peserta yang tidak ambil rumah pertama, karena preferensi atau sudah punya rumah, justru dirugikan apabila tingkat pengembalian tidak optimal.
Celios mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi PP 21/2024 karena berdasarkan simulasi ekonomi yang dilakukan Celios, aturan tersebut berpotensi menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun, dan menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.
BACA JUGA:Pengamalan Pancasila dalam Budaya Digital
Untuk itu, Celios merekomendasikan setidaknya tujuh usulan untuk perbaikan regulasi Tapera, di antaranya mengubah kebijakan agar tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela; memperkuat tata kelola dana Tapera dengan pelibatan aktif KPK dan BPK; mengendalikan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian.
Selain itu, mereka juga merekomendasikan agar ada penurunan tingkat suku bunga KPR, baik suku bunga tetap maupun mengambang, serta memprioritaskan dana APBN untuk perumahan rakyat.
Menyadari penolakan publik terhadap Tapera, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengaku menyesal dan tidak menyangka atas timbulnya kemarahan dari masyarakat dan berbagai pihak terhadap program ini.
"Dengan adanya kemarahan ini, saya pikir menyesal betul. Saya tidak nglegéwa (menyangka)," kata Basuki.
“Kami dengan Bu Menteri Keuangan (sepakat) agar dipupuk dulu kredibilitasnya (BP Tapera) karena ini masalah trust,” lanjutnya.
Niat pemerintah menggulirkan Tapera tentu baik, yakni mengatasi backlog perumahan yang tinggi dan membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah layak huni.
Namun, di tengah penolakan publik yang luas, pemerintah perlu melakukan dialog terbuka dengan masyarakat, pengusaha, dan pemangku kepentingan lainnya, mendengarkan aspirasi mereka dan mempertimbangkan berbagai alternatif sebelum mengambil keputusan akhir.
BACA JUGA:Pancasilais Dalam Dialektika Demokrasi Kita