Seto bertemu langsung dengan sang chairman. Rapatnya dua jam. Satu jam lagi untuk meninjau pabrik.
Seto dapat cerita bahwa seluruh hidup sang chairman dihabiskan di pabrik. Sejak masih kecil. Pabrik itu didirikan oleh ayahnya.
Perusahaan ini juga memastikan investasi yang dulunya berstatus ''wait and see''. Mereka sudah melakukan pembicaraan tahap akhir dengan salah satu kawasan Industri di Jawa Barat. Ia perlu tanah sekitar 60 hektare.
BACA JUGA:Angka Digital
Investasinya memang tidak sebesar yang pabrik kaca tapi daya serap tenaga kerjanya tinggi: 10.000 orang.
Bukan hanya soal tenaga kerja yang mengesankan Seto. Juga perlakuan pada karyawan mereka. "Semua karyawan disediakan asrama dan makan. Tiga kali sehari. Termasuk untuk keluarga. Semua," ujar Seto.
Ia diajak keliling asrama itu. Melongok ke dalam kamar. Type 30 m2. Untuk dua orang.
Yang seperti itu tidak hanya di Ningbo. Di perusahaannya yang di Vietnam dan Kamboja pun sama. Pun yang di Jawa Barat nanti.
"Saya pun bertanya kepada sang chairman: kenapa melakukan itu semua. Bukankah akan menambah biaya produksi?" ujar Seto.
"Beliau menjawab bahwa karyawan adalah prioritas pertama mereka. Jika karyawan senang maka mereka akan berkontribusi besar buat perusahaan," ujar Seto mengutip jawaban sang chairman.
Seto pun membaca laporan laba rugi perusahaan tersebut. Bisa dipercaya. Ini perusahaan publik. Listed di HKSE, pasar modal Hongkong.
"Net profit marginnya sekitar 14 persen. Luar biasa untuk perusahaan tekstil," ujar Seto.
Malam itu Seto melewatkan malam di Ningbo. Pagi-pagi terbang ke lebih selatan: Shenzhen. Ia harus bertemu dengan perusahaan mobil yang Anda sudah tahu: BYD. Orang Tiongkok mengucapkannya dengan ''piyati''.
BACA JUGA:Tirai Keluarga
Di Piyati pun Seto merapatkan finalisasi ''wait and see'' yang kemarin: dipastikan jalan. Bulan depan akan ada pengumuman resmi relokasi pabrik Piyati ke Indonesia. Tidak perlu menunggu pelantikan presiden baru.
"Targetnya di awal 2026 pabrik mereka bisa berproduksi secara komersial," ujar Seto.