Fikri Jufri

Dahlan Iskan--
Sudah sekitar 10 tahun terakhir Fikri Jufri tidak bisa ikut Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Jawa Pos. Kesehatannya terus menurun. Sudah lama ia tidak ingat lagi nama-nama siapa pun. Kamis kemarin ia meninggal dunia.
Saya mengenalnya di Majalah TEMPO. Di tahun 1975. Kantornya masih di bangunan tua, dua lantai, di Jalan Senin Raya 83 Jakarta. Area itu di akhir tahun 1990-an dirombak menjadi mal dan pertokoan modern.
Saat itu saya sedang magang. Status saya masih menjadi wartawan muda di koran amat kecil di Samarinda: Mimbar Masyarakat. Sepuluh wartawan dari berbagai daerah terpilih untuk magang di media besar di Jakarta.
Selama magang, di malam hari kami mengikuti pendidikan teori jurnalisme di ruang kelas LP3ES di Jalan Jambu. Siang hari dimagangkan berdasar hasil undian.
Saya beruntung dapat undian sesuai dengan doa saya: di TEMPO. Media idola sejak didirikannya lima tahun sebelumnya.
Doa cadangan saya: bisa magang di Kompas. Sedang doa tolak balak saya: jangan sampai dapat tempat magang di Pos Kota --maafkan saya Pak Harmoko.
Tempat magang akan mewarnai perjalanan jurnalistik seseorang. Saya merasa sangat diwarnai oleh TEMPO. Oleh tokoh-tokohnya. Salah satunya Fikri Jufri. Jabatannya: redaktur pelaksana, satu tingkat di bawah pemimpin redaksi.
Tempat magang saya di TEMPO berada di sosoran belakang. Emperan lantai atas. Di situlah para wartawan TEMPO bekerja. Di meja-meja yang di atasnya terlihat mesin tik --lupa mereknya.
Saya boleh belajar mengetik berita di meja mana saja yang kosong. Kemarin saya ingat-ingat siapa saja wartawan yang bekerja di situ. Setiap yang saya ingat sudah meninggal dunia. Mungkin tinggal Syahril Wahab yang masih hidup --sudah lama ia berhenti dari TEMPO.
Para redaktur TEMPO bekerja di satu ruang berpintu di sebelah sosoran itu.
Selama tiga bulan magang di TEMPO rasanya saya hanya sekali masuk ke ruang itu. Itu pun karena dipanggil seorang redaktur. Gara-garanya: tulisan saya yang tidak lengkap. Saya lupa mencatat keterangan sumber berita yang saya wawancara: ia lulusan universitas apa. Saya hanya menyebutkan Amerika.
Saya akan ingat nama redaktur itu seumur hidup: Zen Umar Purba. Ia bantu saya agar saya ingat. Sampai ia menyebut banyak nama universitas terkemuka di Amerika. Tapi saya tetap tidak ingat yang mana. Saya harus kembali ke sumber berita tersebut. Naik bus kota. Ganti dua kali. Hanya untuk bertanya nama universitas. Belum ada HP saat itu. Juga belum lazim menghubungi sumber berita lewat telepon.
Selama magang itu saya hanya kenal nama-nama para redaktur TEMPO lewat nama besarnya di majalah. Saya tidak berani memperkenalkan diri kepada mereka. Saya merasa mereka itu para dewa.
Lantai bawah bangunan bekas toko itu untuk bagian pemasaran, iklan, dan keuangan. Saya sama sekali tidak pernah ke ruang yang di bawah itu.