BELITONGEKSPRES.COM, PANGKALPINANG - Konflik antara buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan mencatat ada 127 kasus yang ditangani sejak tahun 2019 hingga 2024.
Penyebab utama konflik ini adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan bijih timah ilegal. Akibatnya, habitat buaya di sungai dan kolong terganggu dan menyebabkan buaya keluar mencari makanan dan wilayah baru.
“Konflik ini telah berdampak negatif bagi manusia dan buaya. Manusia bisa kehilangan harta benda bahkan nyawa, sedangkan buaya bisa terluka, tertangkap atau terbunuh oleh manusia yang marah,” ujar M Andriansyah, Polhut Ahli Madya BKSDA Sumsel, di Pangkalpinang, Senin, 4 Maret 2024.
Menurut data BKSDA Sumsel, konflik buaya-manusia di Babel terjadi di tujuh kabupaten/kota. Jumlah kasus tertinggi ada di Bangka sebanyak 36 kasus, diikuti Pangkalpinang 20 kasus, Belitung Timur 23 kasus, Bangka Tengah 17 kasus, Bangka Selatan 15 kasus, Bangka Barat 10 kasus, dan Belitung 6 kasus.
BACA JUGA:Kasus DBD di Bangka Melonjak, Dua Bocah Meninggal Dunia
BACA JUGA:Oknum PNS Terlibat Korupsi Timah Babel, Staf Biasa Miliki Relasi Kuat
Andriansyah menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan buaya menyerang manusia, antara lain karena lapar, merasa terancam, menjaga sarang atau anaknya, atau salah mengira manusia sebagai mangsa.
“Buaya juga bisa menyerang karena merasa terdesak atau terpojok oleh aktivitas manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan menghindari kontak dengan buaya di habitatnya,” pungkas Andriansyah.