Gambangan memiliki dua buah irama, diantaranya adalah Irama Tabo Lamak dan Irama Pok-pok Gerinang, namun kebiasaan yang sering dimainkan pada saat di Ume yaitu Irama Tabo Lamak. Irama Tabo lamak tidak menggunakan syair lirik, irama inilah juga yang biasanya digunakan untuk mengusir hama kera/monyet di Ume. Setahu penulis, irama Pok-pok Gerinang merupakan irama nyanyian permainan anak-anak Pulau Belitung. Yang artinya, irama ini menggunakan syair lirik. Menurut Surniati irama Pok-pok Gerinang merupakan irama baru yang sengaja ia mainkan didalam instrumen Gambangan.
Gambangan memiliki tujuh bilah nada. Terdiri dari frekuensi tinggi dan rendah dengan posisi penempatan bilah nada dari sebelah kiri ke kanan. Dari skala nada Gambangan, dapat dikatakan jenisnya masuk ke dalam skala nada pentatonik, yang dimana struktur skala nadanya tidak diatonik (do, re, mi, fa, sol, la, si, do). Tangga nada ini terbentuk murni dari kepekaan rasa dan pendengaran Surniati pada saat proses pembuatan bilah nada Gambangan. Sistem pembuatan instrumen tradisional seperti ini sangat lumrah ditemukan dalam masyarakat tradisi Indonesia.
Ada dua nama wilayah pembagian nada berdasarkan frekuensinya. Perihal tersebut beradasarkan frekuensi rendah dan tinggi nada. Bilah nada 1 sampai 3 dengan nada dan frekuensinya G#5 – E5 (809.7 Hz – 656.3 Hz) dinamakan Queen dan bilah nada 4 sampai 7 dengan nada dan frekuensinya C#5 – F#4 (552.3 Hz – 373.5 Hz) dinamakan Bam.
Jika dilihat dari segi organologi, ukuran bilah nada Gambangan juga memiliki klasifikasi yang cukup beragam. Penulis mengklasifikasi ukurannya terdiri dari panjang, lebar, lingkar bilah bagian atas serta muncong (bagian ujung bilah bagian bawah yang diruncingkan). Bilahnya dari mulai 1-7. Panjangnya berkisar 53, 5 s.d 74 cm, tergantung bilahnya. Lebarnya 9,3 s.d 10 cm. Lingkar bilah bagian atas sekitar 12,7 s.d 14,3 cm. Untuk muncognnya sekitar 5,5 s.d 7 cm.
Ukuran bilah nada tersebut, tentunya tidak menjadi titik berat untuk membuat Gambangan. Selain aspek kadar kekeringan dan jenis kayu juga ukuran tersebut pasti mempengaruhi nada dan frekuensi yang dihasilkan.
Gambangan sebenarnya telah lama hadir dan hidup di kampung-kampung. Namun sekarang keberadaanya cukup senyap. Apa dan bagaimana yang harus dilakukan sepertinya menjadi pertanyaan penting dan mendasar. Minimnya literasi, manuskrip serta dokumentasi membuat Gambangan tenggelam kedasar samudera. Ekosistem seni dan budaya ini setidaknya harus menjadi konsep dasar dari pemikiran masyarakatnya sendiri, seniman, pelaku budaya dan tentunya pemerintah. Jangan sampai harta karun ini terkubur dengan sikap acuh tak acuh.
*) Reno Izhar, Ethnomusicolog, Composer dan Percussionist di Belitung Timur