BELITUNG Timur secara spesifik terbagi menjadi dua golongan suku. Dua golongan suku ini terbagi berdasarkan konsep budaya maritim dan agraris. Dimana kekayaan laut dan daratan di Pulau Belitung membentuk pula kebiasaan pola ketahanan hidup masyarakatnya. Suku Sawang atau lebih dikenal dengan sebutan Urang Laut biasa mencari penghidupan mereka dengan melaut, mencari ikan. Sedangkan Suku Darat atau biasa dikenal dengan sebutan Urang Darat, lebih memilih untuk tinggal di dalam hutan dan bertani. Atas aspek letak geografis inilah akhirnya membentuk suatu keragaman seni dan budaya yang hadir dari klasifikasi pencarian kebutuhan hidup masyarakatnya.
Desa Limbungan atau masyarakat Pulau Belitung akrab dengan sebutan Limbongan, menjadi salah satu tempat studi kasus yang penulis kunjungi. Desa ini berada di Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, yang mana letak geografisnya lebih mengarah ke bagian selatan Pulau Belitung. Desa ini cukup jauh dengan laut, sehingga masyarakatnya lebih dikenal dengan sebutan Urang Darat, yang profesi masyarakatnya sebagai petani. Sistem bertani tradisional yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Limbongan disebut dengan Ume Taun.
Secara etimologi, tradisional Ume artinya ladang dan Taun adalah tahun. Merujuk dari penamaan tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat Desa Limbongan melakukan sistem bertani selama satu kali dalam setahun. Jenis tumbuhan yang ditanam adalah padi gunung dan Menggale (singkong).
Istilah Kubok dan Membarongan juga melekat dalam Ume Taun. Kubok artinya sebuah kelompok, jadi dalam mengolah Ume Taun terdiri dalam satu kelompok yang biasanya terdiri dari satu keluarga. Sedangkan Membarongan adalah tempat untuk beristirahat sekaligus tempat menjaga Ume tersebut. Sehingga, sering ditemukan struktur bangunan Membarongan yang menjulang tinggi dan gunanya untuk memantau dari serangan hama. Tinggi benda ini sekitar 5 – 7 meter dan terbuat dari kayu, yang kurang lebih bentuknya seperti gazebo.
BACA JUGA:Mewujudkan Pemilu tanpa Pilu
Menjelang siang saat sedang beristirahat di Membarongan, biasanya masyarakat berinisiatif untuk membuat sebuah hiburan. Guna menghibur sepi saat beristirahat, masyarakat biasanya memainkan sebuah instrumen. Instrumen ini dinamakan Gambangan, yang mana klasifikasinya masuk ke dalam jenis sumber suara idiofon. Selain untuk hiburan, Gambangan juga digunakan untuk mengusir hama di Ume seperti kera/monyet liar.
Tidak diketahui dengan jelas kapan Gambangan mulai ada. Namun dalam catatan era kolonial, Bijdrage Tot de Kennis van het Billiton Maleisch pada jurnal Hindia Belanda Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-En Volkenkunde, Deel XXXIV tahun 1891, A.G. Voorderman menyebutkan entitas etnik Billiton Maleisch atau Melayu Belitung merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pandai dalam berladang.
Jenis seperti instrumen Gambangan sebenarnya sangat banyak ditemukan di Indonesia. Misalnya Gambang yang ada di Gamelan Jawa, Garantung di Batak Toba Sumatera Utara, Calung di Banyumas, Kolintang di Minahasa Sulawesi Utara, Doli-doli di Nias, Cetik di Lampung, Latotou di Gonda Baru Buton, Kakula di Masyarakat adat Kaili Sulawesi Tengah. Bahkan jenis instrumen seperti ini juga terdapat di benua luar seperti Balafon di Suku Afrika, Marimba di Amerika Serikat.
Sang Empu
Surniati (73), salah satu empu Gambangan dari Desa Limbongan yang penulis temui di rumahnya mengatakan, bahwa Gambangan sudah sangat jarang di mainkan dan minim generasi, terutama dalam prosesi Ume Taun. Sebab, prosesi Ume Taun juga sudah mulai punah. Hutan dan lahan luas sudah banyak tergantikan oleh perkebunan sawit. Sedangkan Surniati, dalam pengamatan penulis juga merindukan prosesi Ume Taun ini. Gambangan secara tidak langsung merekam memori nostalgia semasa dulu.
Surniati pertama kali melihat Gambangan dari bapaknya yang bernama Sarin. Setelah lama hilang, artinya Ume Taun sudah tidak dilakukan lagi dan Gambangan terlupakan. Adik dari Sarin mengajak Surniati untuk membuat Gambangan dengan satu alasan yaitu Lejuk (rindu). Momen itu membuat Surniati mulai serius untuk melestarikan Gambangan. Kabar baiknya generasi muda yang meneruskan spirit Surniati untuk bermain Gambangan adalah cucunya sendiri. Selain lihai memainkan Gambangan Surniati juga cakap dalam membuatnya.
Organologi dari Gambangan sepenuhnya berasal dari alam. Bilah nadanya terbuat dari kayu Sengkerubong (sejenis kayu endemik Pulau Belitung), Rancak (tempat menyimpan bilah) terbuat dari pelepah pohon Sagu, penyangga di antara bilah nada dan rancak menggunakan rumput Ilalang, kayu pasak pemisah antara bilah dapat menggunakan berbagai macam jenis kayu yang ditemukan di alam, begitu pula dengan kayu yang digunakan untuk menabuh bilah Gambangan tersebut.
BACA JUGA:Bidadari yang Berselendang Bianglala
Uniknya, lebar dari bilah nada Gambangan terbilang cukup lebar. Lebarnya sekitar 10 cm. Dengan permukaan bagian atas melengkung dan bagiannya bawah rata. Surniati menjelaskan bahwa dua bilah nada Gambangan terdiri dari satu pohon Sengkerubong. Artinya pemilihan pohon untuk dijadikan Gambangan juga memerlukan perhatian khusus. Jika pohon tersebut ukurannya lebih kecil atau lebih besar dari ukuran standar bilah nada Gambangan, pohon tersebut tidak akan di ambil karena hal tersebut dapat mempengaruhi nada Gambangan.
Keunikan kedua, Gambangan ditabuh tidak berada pada posisi tengah tapi di bagian ujung bilah nada, sehingga bentuk ujung bilah nada Gambangan akan diruncingkan mirip seperti ujung perahu. Perlakuan menabuh seperti ini mirip dengan instrumen Garantung dari Batak Toba, Sumatera Utara.