BACA JUGA:Optimisme Menatap Ekonomi Indonesia 2025
Semua kejadian bisa disimpulkan dengan logika HTI, karena itu kalau Hizbiyyin menyebut penolakan terhadap HTI itu karena "framing" (pembingkaian) yang buruk atas khilafah, sehingga khilafah terkesan sebagai momok, maka fakta dan data dalam buku "KontraNarasi Khilafers" bisa menjadi bukti siapa sebenarnya yang bermain "framing" dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai Dosen Fakultas Ushuluddin UINSA Surabaya, penulis dalam buku itu juga membandingkan kitab HTI dengan "kitab kuning" NU tentang khilafah/kepemimpinan. Kitab otoritatif HTI berjudul "Ajhizat Daulah Al Khilafah" karya Atha Abu Rashtah yang menyebut "daulah khilafah" (negara khilafah), namun kitab kuning, seperti Al Ahkam Al Sulthaniyyah (karya Abu Hasan Al Mawardi), Tarikh Tabari, dan kitab-kitab kuning lainnya menyebut satu kata, yakni khilafah, bukan daulah khilafah.
Jadi, para santri sebenarnya tidak mengingkari khilafah/kepemimpinan, tapi maksudnya bukan negara atau pemerintahan. Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya itu menyebut kata "khilafah" sebanyak 35 kali, kata "khalifah" sebanyak 25 kali, kata "imamah" sebanyak 94 kali, dan kata "imam" sebanyak 13 kali. Kata-kata yang sama juga ada dalam kitab "Fathul Wahab", "Asnal Mathalib", dan "Minhajut Thullab" karya Syaikh Zakariyah al-Anshari, atau kitab "Rawdhatut Thalibin wa 'Umdatul Muttaqin" dan "Minhajut Thalibin" karya Al-Nawawi, dan sebagainya.
Hanya saja, para santri memahami teks-teks tentang imamah/khilafah dalam kitab-kitab itu melalui konstruksi pemahaman, salah satu pendiri NU KH Wahab Hasbullah yang disampaikan dalam pidato di depan parlemen pada 29 Maret 1954 yang dimuat dalam Majalah "Gema Muslimin" berjudul "Walijjul Amri Bissjaukah", yang intinya bahwa imam a'dhom dalam Islam itu hanya satu yang memiliki pengetahuan se-martabat mujtahid mutlak, namun orang yang demikian sudah tidak ada sejak 700 tahun dari sekarang.
BACA JUGA:Drama Korea Shin Tae-yong di Timnas Indonesia Selesai
Bila umat Islam di dunia tidak mampu membentuk imam a'dhom, maka wajib bagi umat Islam di masing-masing negara mengangkat imam dalam konsepsi keadaan darurat, seperti Bung Karno misalnya, bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara sebagai walijjul amri.
Pandangan KH Wahab Hasbullah itu juga menjadi keputusan Muktamar NU di Banjarmasin bahwa Soekarno sah menjadi pemimpin RI sebagai "waliyyul amri ad-dharuri bisysyaukah". Artinya, syarat pemimpin yang ideal itu diturunkan menjadi syarat minimal realistis.
Syarat demikian juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik pun sah menjadi presiden, karena syarat ideal, seperti dalam pandangan Imam Mawardi tidak memungkinkan. Dalam perkembangan yang tidak kaku seperti HTI, para ulama dalam bahtsul masail (pembahasan masalah) NU juga sudah menetapkan bahwa khilafah adalah ijtihadiyah dan NKRI adalah hasil kesepakatan yang final.
Tidak hanya logika otak-atik, jebakan logika juga banyak dilakukan para Khilafers. Misalnya, ketika mereka menyatakan Islam itu lebih baik daripada Pancasila. Itu jebakan logika yang tidak imbang, karena Islam itu agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi. Kalau membandingkan agama secara imbang, maka Islam bisa dibandingkan dengan agama lain, sedangkan ideologi dengan ideologi.
Ulama yang ahli tafsir Al-Qur'an KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menggambarkan bahwa manusia sekarang mirip dengan umat Nabi Ibrahim, logika lebih dipercaya dari pada dalil.
BACA JUGA:Menggapai Ketahanan Pangan dengan Memanfaatkan Lahan Bekas Rob
Nah, redupnya gangguan terorisme di dunia nyata selama 2024, agaknya tidak serta merta mengubur gangguan ideologis hingga akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025, karena ada saja yang mempersoalkan agama di negara yang bukan negara agama ini.
Paling tidak, gangguan intoleransi di negara berketuhanan ini masih ada dalam "permainan" logika di dunia maya, atau radikalisme digital, seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut HTI, meski logika ala mereka tidak berbasis "sanad" (rujukan keagamaan yang kuat), kecuali sekadar rasionalisasi.
Radikalisme/ateisme
Selain radikalisme digital yang cenderung "rasionalisasi" itu, di dunia nyata juga mulai ada gangguan ideologis berbentuk anti agama (ateisme) pada akhir 2024, seperti munculnya permohonan agar warga negara yang tidak beragama diakui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk).
Tidak hanya adminduk, ada pula pemohon yang meminta MK agar menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pilihan. Juga, pemohon lain yang menginginkan agar agama dan kepercayaan tidak menjadi salah satu syarat sahnya perkawinan, sesuai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.