Menurut Psikologi, Judi Online Jadi Ancaman Tersembunyi bagi Kesehatan Mental Generasi Muda
Ilustrasi judi online. -Dimas Pradipta-JawaPos.com
BELITONGEKSPRES.COM - Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, Nael Sumampouw, menyoroti judi online sebagai salah satu tantangan kesehatan mental global yang semakin serius, sejajar dengan dampak penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Pernyataan ini didukung oleh temuan The Lancet yang menunjukkan bagaimana judi online memengaruhi kesehatan mental, terutama pada generasi muda.
Menurut Nael, judi online memiliki sifat unik yang menjadikannya lebih berbahaya dibanding bentuk perjudian konvensional. Dengan kemasan berupa permainan daring, aktivitas ini seringkali menarik anak muda yang mencari pelarian dari stres atau masalah hidup.
“Sifatnya yang tersembunyi, mudah diakses, dan menyamar sebagai aktivitas normatif membuatnya sangat memikat, tetapi juga sangat destruktif,” ujar Nael dalam sebuah diskusi daring.
Nael menjelaskan bahwa mekanisme judi online dirancang untuk membuat pengguna terjerat secara psikologis. Strategi seperti memberikan kemenangan awal kecil menciptakan ilusi kontrol, yang dikenal sebagai gambler’s fallacy keyakinan salah bahwa keberuntungan akan berubah dengan usaha lebih. Ketika pengguna terus bermain, mereka sering kali kehilangan kendali dan akhirnya terjebak dalam siklus adiksi.
BACA JUGA:Sidang Korupsi Timah: Jadwal Vonis Harvey Moeis Cs Sebelum Natal 2024
BACA JUGA:Prabowo: Uang Negara adalah Hasil Keringat Rakyat, Harus Dikelola dengan Bijak
Kondisi ini diperburuk oleh faktor eksternal seperti pengangguran, kurangnya dukungan sosial, dan akses mudah ke pinjaman online, yang kerap digunakan untuk mendanai kebiasaan berjudi. Pinjaman tersebut sering kali berujung pada lingkaran utang yang semakin membebani mental pengguna.
Nael memperingatkan bahwa salah satu dampak terburuk dari adiksi judi online adalah learned helplessness, yaitu perasaan tidak berdaya setelah berulang kali gagal keluar dari situasi sulit. Anak muda yang mengalami hal ini sering kehilangan motivasi, merasa tidak memiliki kendali atas hidup, dan terjebak dalam keputusasaan.
“Ketika usaha tidak membuahkan hasil, mereka kehilangan harapan. Ini bukan hanya mematikan potensi kreatif mereka, tetapi juga dapat membawa mereka ke titik terendah, termasuk pikiran untuk mengakhiri hidup,” ungkap Nael.
Ia menekankan bahwa situasi ini tidak mengenal latar belakang sosial, dan tanpa dukungan yang memadai, risiko kesehatan mental dan sosial yang serius menjadi tak terhindarkan.
BACA JUGA:Menaker Yassierli Siapkan Permenaker untuk Kenaikan Upah Minimum 2025
BACA JUGA:Kenaikan UMP 2025 Sebesar 6,5 Persen Resmi Diumumkan oleh Presiden Prabowo
Untuk mengatasi masalah ini, Nael menekankan pentingnya kepedulian sosial dan keterlibatan keluarga. Ia menyerukan agar keluarga menjadi tempat pertama untuk mendeteksi tanda-tanda awal adiksi dan memberikan dukungan emosional yang kuat. Di sisi lain, ia juga menyoroti perlunya peran negara dalam menyediakan layanan rehabilitasi yang mudah diakses.
“Puskesmas atau lembaga lain bisa menjadi ujung tombak dalam menyediakan layanan rehabilitasi. Negara harus lebih proaktif untuk memastikan generasi muda dapat keluar dari jerat ini,” tegasnya.