Cara Cerdas Media Cetak Melawan Media Digital

Kolektor media cetak lawas, Ikin Sodikin alias Kin Sanubary memeriksa lembaran media cetak yang dikoleksinya di Subang, Jawa Barat, Rabu (5/5/2021). Kolektor tersebut memiliki lebih dari 3000 media cetak lawas dari 300 perusahaan penerbit dalam negeri dan-M Ibnu Chazar/rwa.-ANTARA FOTO

SEJARAH membuktikan era digital telah menumbangkan banyak media cetak karena semakin banyak informasi di kanal digital yang bisa diakses masyarakat secara gratis.

Yang tumbang itu bukan hanya media cetak nasional, bahkan media cetak global sekelas National Geographic (NatGeo) yang berdiri 1888 atau 136 tahun lalu pun melakukan PHK terhadap 19 penulis pada 28 Juni 2023.

Secara nasional, data SPS (Serikat Perusahaan Pers) mencatat masih ada 593 media cetak yang terdaftar pada 2021 tapi setahun kemudian sudah tersisa 399 media cetak. Artinya, hampir 200 media cetak yang guling tikar hanya dalam setahun (194 media cetak pada 2021-2022).

Akhirnya, sejumlah media cetak nasional pun harus beralih ke format media digital, diantaranya Koran Sindo, Harian Republika, Koran Tempo, Tabloid Nova, Suara Pembaruan, Indopos, Tabloid Bola, Tabloid DeTik, Harian Sinar Harapan, Majalah Hai, dan sebagainya.

Tinggal Harian Kompas yang berusia 60 tahunan (lahir 28 Juni 1965) yang masih memiliki versi cetak, namun Kompas juga sudah menyiapkan versi daring yakni Kompas.id sebagai antisipasi bila media cetak benar-benar harus tamat riwayatnya. Selain itu ada pula media daring Kompas Grup/KKG yakni Kompas.com dan Tribunnews.com.

Yakin Yetap Bertahan

Sekjen SPS yang juga Anggota Dewan Pers (2022-2025) Asmono Wikan meyakini media cetak akan tetap bertahan di era digital, meski oplah mengalami penurunan drastis dalam 10 tahun terakhir dari 24 juta tiras pada 2014 menjadi 4,5 juta pada 2024.

BACA JUGA:Menyeimbangkan Antara Pemajuan Ekonomi dan Transisi Energi

Tidak hanya tiras yang turun, tapi jumlah halaman turun atau semakin tipis untuk menyiasati tingginya biaya cetak. Meski demikian, menurut CEO Humas Indonesia itu, media cetak akan tetap tak tergantikan, karena media cetak itu kasta tertinggi dari media.

Disebut sebagai "kasta tertinggi" itu menurut Asmono, karena platform digital itu bisa pasang-surut, seperti SMS yang sudah tiada, sedangkan kertas tetap menjadi bukti tertulis, bahkan semakin kuno pun, media cetak tetap menjadi dokumen bersejarah atau manuskrip, jadi tidak sirna.

Hal itu juga diakui oleh praktisi media DR Abdul Choliq Baya saat menjadi pembicara pada "Prasetya Media Summit 2024" di Surabaya, akhir November 2024.

Menurut Dosen Fakultas Dakwah UIN KHAS Jember itu banyak media cetak yang kolaps karena era digital mendorong adanya perubahan literasi baca pada masyarakat dari cetak ke medsos.

Choliq Baya menegaskan era digital itu pasti menang kalau dilawan dengan oplah/omzet, karena itu perlu strategi mengalahkan era digital dengan inovasi digital juga.

Literasi masyarakat memang sudah berubah sehingga pengelola media cetak harus menyiapkan juga inovasi digital juga, baik digitalisasi maupun literasi digital.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan