Polri dalam Arsitektur Negara Demokrasi Modern

Polisi berkuda mengikuti apel gelar pasukan Operasi Lilin 2023 untuk pengamanan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 di Monas, Jakarta, Kamis (21/12/2023). -Rivan Awal Lingga/tom/am.-ANTARA FOTO

Di era Pemerintahan Darurat RI hingga Republik Indonesia Serikat, terdapat dua institusi kepolisian, yaitu Jawatan Kepolisian Negara RIS dan Kepolisian Negara RI.

Sampai masa kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950, seluruh organisasi kepolisian negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Kepolisian berstatus tersendiri dari militer, yang memiliki organisasi dan peraturan gaji terpisah.

​​​​​​Sejak 1961 kepolisian diputuskan sebagai bagian dari unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara, UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dan UU Nomor 28 Tahun 1997 Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Maka pasca Reformasi 1998, institusi Polri juga tak luput dari agenda reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia yang memuat pemisahan struktur TNI-Polri.

BACA JUGA:Kesejahteraan Guru dan Jeratan Pinjol

Kemandirian Polri kemudian diperkuat dengan TAP MPR Nomor VI/2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan TAP MPR Nomor VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Lalu dikukuhkan dalam amandemen konstitusi kedua dalam pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.

Kemandirian Polri semakin memperoleh landasan yang kuat dengan terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Polri diposisikan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Semangat mengusung kemandirian Polri muncul dari kesadaran bahwa kepolisian adalah institusi yang melayani sipil, dan mengabdi kepada kepentingan negara. Maka harus dipisahkan dari institusi militer, pada saat yang sama juga harus profesional dan bebas dari konflik kepentingan.

Mengembalikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri atau institusi lain, dalam pandangan penulis akan mempersulit posisi Polri dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Hal demikian terbukti di masa lalu. Pada kasus-kasus besar di masa lalu seperti kasus Marsinah, kasus Udin, dan kasus Tjetje kepolisian terbentur dengan kaburnya batas-batas kewenangan kepolisian dengan institusi lain.

BACA JUGA:Di Antara Gugus Batu Karang: Kisah Djoni Menuju Kursi Bupati Belitung

Modal kemandirian ini pada akhirnya mengilhami Polri untuk terus mengembangkan diri. Tepat tiga tahun setelah UU Polri disahkan, pada 2005 terbit Grand Strategy Polri 2005-2024. Dengan kemandirian, kepolisian menjadi lebih berkembang dan maju sehingga dapat diandalkan oleh negara untuk menghadapi tantangan keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri yang semakin kompleks.

Muncul kesadaran kolektif di tubuh Polri bahwa kepolisian hadir di tengah bangsa dan negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk mengawal demokrasi.

Oleh karena itu, dalam grand strategy 25 tahun, target utama yang dibangun adalah trust building (kepercayaan publik), partnership (kemitraan dengan masyarakat), dan strive for excellence (mencapai keunggulan).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan