Integritas Pilkada 2024 untuk Demokrasi Berkualitas

Warga lanjut usia menuju bilik suara untuk melakukan pencoblosan pada pemungutan suara Pilkada di TPS 05 Kelurahan Jati, Ternate, Maluku Utara, Rabu (27/11/2024). -Andri Saputra/wpa.-ANTARA FOTO

Baik hitung cepat maupun polling secara umum memiliki landasan ilmiah yang kuat, namun kualitas hasilnya juga tergantung pada jumlah sampel dan tehnik pengambilan sampel di lapangan.

Dalam praktiknya Statistisi Ahli Madya BPS DKI Theresia Parwati meminta masyarakat agar tetap cerdas untuk bersikap dan mengawasi proses hitung cepat agar sehingga terjebak pada hasil yang ternyata menyesatkan.

Theresia berpendapat bahwa metodologi memainkan peran penting dalam hitung cepat karena di dalamnya memuat cara pengambilan sampel unit dan teknik terkait pengumpulan data.

Selain metodologi, Theresia juga menyarankan masyarakat untuk senantiasa melihat rekam jejak lembaga survei yang mengeluarkan hasil hitung cepatnya saat pilkada.

Dalam konteks Pilkada 2024, ada tantangan unik bagi metode quick count dan polling karena lanskap politik yang semakin kompleks.

Kompetisi yang ketat di antara kandidat, pengaruh politik identitas, serta tingginya tingkat polarisasi masyarakat menciptakan dinamika yang tidak mudah diprediksi.

BACA JUGA:Urgensi Peningkatan Literasi Dasar di Indonesia

Dalam situasi ini, keakuratan quick count dan polling sangat ditentukan oleh integritas metodologi, representasi data, serta keterbukaan lembaga yang melakukannya.

Salah satu kekuatan quick count adalah kemampuannya memberikan gambaran awal yang cepat mengenai hasil pemilu.

Namun, efektivitasnya sering kali diragukan ketika terjadi ketidakselarasan antara hasil quick count dan perhitungan resmi KPU. Bahkan jika terjadi perbedaan yang jauh dari satu lembaga survei dengan lembaga survei lain maka memunculkan kecurigaan di masyarakat.

Meski selisih margin of error biasanya masih dalam batas wajar, perbedaan ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membangun narasi delegitimasi hasil pemilu.

Pada Pilkada sebelumnya, beberapa pihak bahkan menuding lembaga survei telah berafiliasi dengan kandidat tertentu, sehingga hasil quick count dianggap bias.

Situasi ini tidak hanya menimbulkan ketidakpercayaan publik, tetapi juga menciptakan kerawanan politik yang berpotensi memperkeruh stabilitas sosial.

BACA JUGA:Menyeimbangkan Bandul Geopolitik dengan Diplomasi

Polling, di sisi lain, memiliki tantangan yang berbeda. Meski dilakukan jauh sebelum hari pemungutan suara, polling sering dikritik karena dianggap tidak mampu menangkap perubahan preferensi masyarakat yang sangat dinamis.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan