Integritas Pilkada 2024 untuk Demokrasi Berkualitas
Warga lanjut usia menuju bilik suara untuk melakukan pencoblosan pada pemungutan suara Pilkada di TPS 05 Kelurahan Jati, Ternate, Maluku Utara, Rabu (27/11/2024). -Andri Saputra/wpa.-ANTARA FOTO
Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, tetapi juga menciptakan ketimpangan kompetisi di antara kandidat.
Koordinasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus ditingkatkan untuk mengidentifikasi pelanggaran netralitas ASN sejak dini.
Selain itu, regulasi terkait sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN perlu disosialisasikan secara masif agar menjadi pengingat tegas bagi seluruh aparatur.
BACA JUGA:Urgensi Korporasi Menjaga Reputasi di Era Media Sosial
Tak hanya ASN, aparat keamanan juga memiliki peran penting dalam menjaga netralitas Pilkada. Laporan dari berbagai Pilkada sebelumnya menunjukkan bahwa aparat keamanan, baik dari Polri maupun TNI, kadang-kadang dianggap memihak calon tertentu.
Pengamat sekaligus Co-Founder Institute For Security dan Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menyebut TNI sangat berperan dalam menciptakan situasi yang kondusif dan aman selama Pilkada 2024.
TNI menurut Khairul harus memperkuat sinergi dengan aparat kepolisian dan pihak penyelenggara pemilu agar proses pilkada dari kampanye dan pencoblosan bisa berjalan dengan lancar.
Memang faktanya netralitas aparat keamanan adalah kunci untuk memastikan bahwa Pilkada 2024 berjalan lancar tanpa intimidasi atau tekanan politik.
Penegakan kode etik yang tegas dan tidak pandang bulu, disertai pengawasan ketat, harus menjadi bagian dari strategi pengawasan Pilkada.
BACA JUGA:Menyiapkan Guru yang Cakap Menjawab Tantangan Zaman
Dalam hal ini, kerja sama antara Polri, TNI, dan Bawaslu sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan menjamin keadilan proses pemilu.
Di sisi lain, potensi gratifikasi pasca-Pilkada menjadi ancaman serius yang sering kali luput dari perhatian publik.
Praktik gratifikasi dalam bentuk uang, proyek, atau jabatan kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa memenangkan calon kepala daerah masih menjadi masalah laten yang terus membayangi demokrasi di tingkat lokal.
Gratifikasi semacam ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam konteks ini, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sangat vital. KPK harus lebih proaktif dalam memperluas jaringan pengawasan hingga ke tingkat daerah.