Pusaran Konflik dan Jembatan Melewatinya
Ares Faujian-Istimewa-
BACA JUGA:Mempercepat Transformasi Layanan Publik Melalui Digitalisasi
Kita perlu mengamati gaya komunikasi lawan bicara. Hal ini dilakukan agar dapat membantu kita menyesuaikan pendekatan untuk mengurangi gesekan karena perbedaan. Sesuatu penyampaian yang biasa saja dan ditangkap tidak biasa karena perbedaan, tentunya akan berpotensi tidak baik bagi citra diri seseorang, atau bahkan membuat stereotip buruk suatu kelompok. Hal ini pun akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya di kemudian hari.
Maka dari itu, biasanya pada kunjungan kepala negara, mereka (kepala negara) yang mengerti dengan perbedaan, keberagaman dan konflik, akan mengutarakan maksudnya dengan sebagian menggunakan bahasa resmi negara yang ia kunjungi. Hal ini untuk menjauhi kesalahpahaman dan konflik yang tidak perlu terjadi.
Teknik bridging ketiga adalah mengendalikan respons emosional diri. Karena pertikaian akan lebih dominan memicu emosi negatif, Susan David (2016) menyarankan untuk menerima emosi tanpa membiarkannya menguasai diri kita.
Misalnya, jika kita merasa frustrasi dalam rapat kerja atau begitu emosi bertemu dengan seseorang dengan komunikasi yang tak baik. Maka, kita bisa menarik napas dalam-dalam sebelum merespons tindakan atau bisa menggunakan teknik-teknik meredam emosi lainnya. Hal ini penting dilakukan, sebab aspek emosional itu ibarat api, ia akan mudah membakar keseluruhan. Termasuk hubungan kedepan.
Tahap terakhir teknik bridging adalah berlatih untuk beradaptasi dan bergerak ke arah cara berperilaku orang lain. Adaptasi ini berarti mencari titik temu tanpa mengorbankan nilai utama. Hal ini bisa dilakukan ketika kita berada di wilayah orang lain. Tentunya untuk menghormati dan menghargai keberadaan suatu kelompok di teritorialnya.
Misalnya, dalam negosiasi lintas budaya, memahami preferensi pihak lain dapat membantu mendapatkan data tertentu hingga menciptakan solusi yang saling menguntungkan. Ihwal ini banyak dilakukan para diplomat, peneliti, pendidik, penulis, bahkan politisi.
Dengan melatih diri untuk menyesuaikan diri dan mencoba memahami cara berperilaku orang lain, kita dapat mengembangkan kemampuan adaptasi yang lebih baik. Langkah ini tidak hanya membantu kita berinteraksi dengan berbagai individu dari latar belakang yang berbeda, tetapi juga memperluas wawasan dan memperkuat hubungan sosial.
BACA JUGA:Mengokohkan Industri Kelapa Sawit, Mengakselerasi Transisi Energi
Ketika kita terbuka untuk mempelajari kebiasaan atau pendekatan orang lain, kita menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi situasi baru. Termasuk pula mampu menumbuh kembangkan empati dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini membutuhkan kesabaran dan pengertian, tetapi hasilnya akan berdampak positif pada pengembangan pribadi, hubungan interpersonal, hingga hubungan lintas budaya.
Penutup
Dunia ini tidak pernah dirancang untuk seragam. Karena diversitas adalah kekayaan sekaligus tantangan, termasuk di Indonesia. Menyikapi perbedaan membutuhkan kesadaran, empati, toleransi, dan ketepatan dalam merespon tindakan.
Perbedaan memerlukan ruang untuk dipahami, bukan dihakimi tanpa hati. Dalam perjalanan memahami sesama, waktu dan kesabaran menjadi jembatan yang membawa kita menuju kebijaksanaan. Di tengah arus perbedaan dan pusaran konflik, jalan penyelesaian selalu ada bagi mereka yang bersedia melangkah dengan sabar dan berjiwa besar. Sebab, perbedaan bukanlah hal yang harus ditakuti, melainkan dijelajahi.
Dengan cara yang tepat, konflik dapat menjadi batu loncatan untuk pertumbuhan, pemahaman, dan harmoni sosial. Bukankah dari perbedaanlah kita belajar, berkembang, dan menciptakan dunia yang lebih baik?
*) Ares Faujian America Field Service (AFS) Global Educator dan Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kabupaten Belitung Timur.