Hendrya Sylpana

Doktor Irwan

Dahlan Iskan--

Sejak menerima gelar itu saya belum pernah satu kali pun menggunakannya. Saya harus tahu diri. Itu hanya gelar kehormatan. Tidak layak dibawa-bawa ke forum publik apalagi forum ilmiah.

Saya adalah saya: lulusan Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqin di desa Takeran, Magetan.

Memang banyak pihak yang menuliskan gelar itu di depan nama saya. Di banyak forum. Saya sering minta agar jangan sebut gelar itu. Sesekali tidak sempat melakukannya.

BACA JUGA:Titik Pulang

Maka saya memahami kalau Pak Irwan Hidayat juga gundah. Saran saya: terima saja. Pak Irwan layak mendapat kehormatan itu. Lebih layak daripada saya.

Kebetulan saya pernah diminta menjadi editor buku mengenai Pak Irwan dan Jamu Sido Muncul. Saya mau.

Saya tertarik pada begitu banyak kiat yang ditemukannya. Itu bukan kiat-kiat biasa. Itu kiat-kiat kelas berat yang untuk menemukannya harus lewat perenungan yang dalam.

Saya pun membaca seluruh isi draf buku itu. Menarik. Lalu mengeditnya. Saya selesaikan itu dalam satu minggu.

Saya sudah lupa itu tahun berapa. Rasanya di masa Covid-19. Lalu saya tunggu-tunggu: kok tidak ada kabar buku tersebut sudah diterbitkan. Lalu saya tanya mengapa.

"Saya sungkan. Masak sekelas saya menerbitkan buku," jawabnya.

BACA JUGA:Tawaduk Thinking

Begitulah Irwan Hidayat. Sangat rendah hati. Sederhana. Termasuk dalam caranya berpakaian. Serba sungkan. Serba merendah.

Rupanya ia takut kalau sudah bergelar doktor harus lebih sering pakai dasi dan sepatu mengilap.

Buku, dasi, gelar doktor HC, sebenarnya tidak diperlukan oleh orang seperti Irwan Hidayat. Yang ia perlukan adalah pikiran-pikiran baru agar jamu Jawa tetap relevan di zaman farmasi.

Di situlah karya terbesar Irwan Hidayat: menemukan cara menyejajarkan jamu dengan farmasi. Termasuk dalam teknologi processing-nya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan