10 Tanda Lemahnya Iman

H Johan Muhammad Nasir -Dok Pribadi---

Tanda lemahnya iman yang berikutnya adalah tidak adanya rasa marah jika menyaksikan pelanggaran syariat. Baik berupa pelanggaran terhadap hal-hal yang haram, atau pelanggaran terhadap aturan-aturan syariat Islam lainnya.

Mengapa itu bisa menimpa seseorang? Sebab ghirah dalam hatinya telah padam, sehingga anggota tubuhnya tidak mampu lagi mengingkari pelanggaran-pelanggaran syariat tersebut.

Dari mimik wajahnya pun, samak sekali tidak ada perubahan ekspresi ketika melihat kemungkaran terjadi. Ini tanda iman sedang lemah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا عُمِلَتْ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً أَنْكَرَهَا كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

“Jika ada satu kemaksiatan dikerjakan di muka bumi, maka orang yang melihat lalu membencinya,” dalam riwayat lain, “Lalu ia mengingkarinya, ia seperti orang yang tidak melihatnya. Sedangkan bagi orang yang tidak melihatnya, namun ia ridha dengan kemaksiatan tersebut, maka ia seperti orang yang melihatnya.” (HR. Abu Daud No. 4345)

Keempat: Menilai sesuatu dengan standar dosa atau tidak dosa, mengabaikan standar hukum makruh

Menilai sesuatu dari sisi terjadinya dosa atau tidak, serta tidak mau melihat dari sisi perbuatan yang makruh, merupakan tanda lemahnya iman.

Praktiknya seperti berikut ini.

Ada sebagian orang ketika hendak melakukan suatu pekerjaan, maka dia tidak bertanya tentang pekerjaan yang baik, tetapi dia bertanya apakah pekerjaan ini menjurus kepada dosa atau tidak, apakah pekerjaan itu menjurus kepada dosa atau tidak, haram atau sekedar makruh saja?

Kondisi kejiwaan seperti ini dapat menyeret dirinya kepada syubhat dan perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan. Lambat laun menjurus kepada hal-hal yang diharamkan.

Mengapa demikian? karena pelakunya tidak memiliki proteksi untuk tidak melakukan perbuatan yang dimakruhkan atau pekerjaan yang syubhat meskipun memang hal tidak tergolong perbuatan yang diharamkan.

Fenomena seperti ini persis seperti yang pernah digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

“Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

BACA JUGA:Membentuk Karater Siswa yang Kuat Melalui Salat Zuhur Berjemaah di Sekolah

Contoh lain, ada sebagian orang yang ketika meminta fatwa atau bertanya tentang hukum suatu permasalahan syar’i, lalu ustadz atau Syaikh yang ditanya menjawab haram, penanya masih saja bertanya apakah bobot keharamannya keras atau tidak, seberapa berat dosa yang ditimbulkan, dan semisalnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan