Melihat Urgensi Pemulihan Lingkungan dan Hutan di Indonesia
Ilustrasi penanaman mangrove di pesisir pantai Lampulo, Banda Aceh-IRWANSYAH PUTRA-ANTARA
Aksi demonstrasi dan kericuhan di sejumlah wilayah Indonesia pada akhir Agustus meninggalkan sejumlah fasilitas umum yang rusak parah, mulai dari halte Transjakarta, gerbang tol, kantor DPRD hingga gedung museum.
Namun, sejumlah fasilitas tersebut langsung dibenahi dan dapat kembali digunakan hanya dalam waktu satu pekan seperti yang terjadi dengan halte Transjakarta. Kondisi yang sama tidak bisa dilakukan ketika yang rusak dan akan diperbaiki adalah lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan, degradasi lahan, deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati bukanlah fasilitas umum yang bisa pulih kembali ke kondisi asri dalam waktu singkat seperti halte dan gerbang tol usai demonstrasi. Prosesnya membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, dan itu harus dimulai dari sekarang.
Peringatan akan urgensi pemulihan lingkungan dan upaya menjaga keanekaragaman hayati bukannya tidak dilakukan, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq bahkan menyampaikan bahwa Indonesia menghadapi tiga krisis planet yaitu perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
BACA JUGA:Trauma Anak Broken Home: Luka Bantin yang Perlu Disembuhkan
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2022, sekitar 50 sampai 75 persen dari populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim dan polusi udara menjadi penyebab penyakit dan kematian dini terbesar di dunia hingga 4,2 juta kematian setiap tahun.
Sementara itu, laporan Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada 2019 menyoroti hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem. Dengan sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan di seluruh dunia menghadapi ancaman kepunahan.
Dampak dari tiga krisis planet juga dapat dilihat di Indonesia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan bahwa 3.472 kali bencana terjadi di tanah air pada 2024, dengan jenis yang paling dominan adalah bencana hidrometeorologi dengan total 3.449 kejadian, mayoritas adalah banjir.
Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bencana pada 2023 yang tercatat 5.400 kejadian. Namun, jika dilihat dari dampaknya, kejadian bencana pada 2024 memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya terutama dalam hal korban jiwa.
BACA JUGA:Estafet Fiskal: Suksesi Kepemimpinan Keuangan Negara Pasca Sri Mulyani
Pada 2024, BNPB mencatat korban meninggal dan hilang mencapai 603 orang, naik dibandingkan 308 orang pada 2023.
Sementara untuk 2025, Geoportal Data Bencan BNPB mencatat dalam periode Januari-10 September 2025 terjadi 2.362 bencana. Mayoritas tetap merupakan bencana hidrometeorologi. Dengan yang terbaru adalah kejadian banjir di Bali yang terjadi pekan ini.
Di sektor kehutanan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi salah satu isu yang dihadapi Indonesia. Menurut data SiPongi Kementerian Kehutanan (Kemenhut), luas indikasi kebakaran mencapai 376.805 hektare pada 2024, turun drastis dari 1.161.192 hektare pada 2023. Data sampai dengan Agustus 2025, memperlihatkan luas karhutla sudah mencapai 213.984 hektare.
Di sisi lain, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), memperlihatkan kenaikan dari 2022 sebesar 72,42 poin menjadi 72,54 poin. Baik Indeks Kualitas Udara, Air dan Lahan naik dalam periode tersebut. Hanya Indeks Kualitas Air Laut turun.